Kamis, 27 Maret 2014

DOGMA (Doktrin PAMALI)



            Di hari pertama masuk kuliah tepat; hari senin tanggal 2 september 2013, saya mendapatkan ragam teman yang berbeda-beda sikap, sifat, pengetahuan dan ide/gagasan selain dari pada tempat asal kelahiran. Selain itu, saya dapati juga dari asrama yang notabennya pesantren mahasiswa di depan man 2 bandung tempat saya tinggal sekarang. Di asrama maupun di kampus saya banyak mendapatkan pengetahuan dari keduanya.
            Di setiap kita membicarakan sesuatu yang menyangkut doktrin agama, maka tak terlepas dari gagasan/ide, pengetahuan maupun pengalaman masing-masing. Menurut saya hal ini wajar-wajar saja. Namun salah satu dari kita tiba-tiba membuka mulut dan mengungkapkan kata PAMALI !!!, dan kemudian dilanjutkan dengan argumennya yang datang dari nenek moyang. Terbesit dalam pikiran saya, dari mana datangnya sumber hukum Pamali tersebut ?. Ironisnya, kata Pamali yang diucapakannya seolah-olah meyakinkan yang bersumber dari hukum yang terpercaya.
            Barangkali konsep Pamali berasal dari mitos, yang segala argumennya disandarkan kepada kepercayaan dari nenek moyang. Dapat kita katakan kepercayaan adat-istiadat yang turun temurun berlangsung tanpa meninggalkan jejak sumber informasi dari mana berasal doktrin tersebut. Kita sebut pemikiran itu primitif.
            Saya sangat khawatir, di samping jamannya era globalisasi, modernisasi, kemajuan teknologi, dan apa lah istilah yang lainnya dimana taraf hidup manusia tinggi, di lihat dari kuantitas maupun kualitas hidup, informasi dan komunikasi apa pun bisa kita dapatkan, dijangkau bahkan kita genggam dalam tangan. Dan apapun yang menyangkut informasi permasalahan sumber hukum khususnya di ruang lingkup agama. Ternyata di tengah-tengah maju nya jaman masih ada orang yang percaya dan mengacu hukum fiqih kehidupan pada sumber yang usang, mutasabihat, tidak jaman, kaku dan tidak jelas.
            Kita amati, isi/argumen dari pada ungkapan Pamali itu haruslah mendapatkan perhatian yang mendalam (Deep Care). Ungkapan Pamali yang sering saya dengar salah satunya adalah “Pamali, jangan diam/duduk di depan pintu !”. dari ungkapan tersebut tidak dilanjutkan dengan dalil setidaknya argumen/alasan yang melarang jangan diam/duduk di depan pintu tersebut. Barangkali dapat saya simpulkan alasan dari ungkapan tersebut; karena menghalangi jalan orang-orang yang akan lewat pintu tersebut.
            Namun paradigma orang yang percaya hukum Pamali adalah larangan yang syah tanpa memikirkan alasan/argumen yang muncul dari kata Pamali itu. Orang kalau sudah mengucapkan kata “Pamali ! bla bla bla” cukup sampai disitu. Tanpa menggunakan argumen yang logis, walau pun terkadang logis dan tidak logis.
            Barangkali hal ini ada kaitannya dengan metode penyebaran agama islam yang dilakukan oleh para wali pada masa penjajahan, dimana agama khususnya islam dan pendidikan  pada saat itu sangat sulit didapatkan oleh bangsa indonesia. Dengan sembunyi-sembunyi para wali berupaya menyebarkan ajaran agama melalui kebudayaan yang satu-satunya bertahan dan bisa tetap dilaksanakan tanpa harus dicegah oleh koloni. Berangsur-angsur para wali memasukan ajaran agama islam melalui kebudayaan. Dan pada saat itu indonesia sedang terpengaruhi oleh kebudayaan agama hindu yang sedang berjaya.
            Paradigma kebanyakan orang bahwa apa yang telah diajarkan dan berkembang pada masa dahulu, hal itu adalah seolah-olah ajaran yang syah dan patut untuk dilestarikan dan sudah menjadi tradisi yang wajib dilaksanakan. Anggapan mereka ajaran yang dilakukannya sakral selama tidak melanggar hukum alam dan hukum agama yang terpenting.
            Saya sebagai makhluk yang berpikir lagi berfikir tidak menarik kesimpulan masalah yang terjadi diatas merupakan falasi (kesesatan berpikir), tetapi apa yang telah terjadi adalah doktrin dari gagasan mereka yang tidak berpikir secara fleksibel atau kaku. Dan kaitannya pemikiran islam dimasa kini ada 3, yaitu islam tradisional, fundamental dan modern. Dan saya mempertanyakan : Bagaimana pemikiran islam tradisional, fundamental dan modern tidak bersifat sekuler antara satu sama dengan yang lainnya ? Barangkali itu pertanyaan yang tidak mesti dijawab sekarang dan dapat dijawab setelah pertanyaan berikut “Bagaimana solusi menghilangkan doktrin pamali seiring berkembangnya jaman ?

            Terlalu sukar bagi kita untuk merubah paradigma yang sudah membudaya, setidaknya masih ada orang yang memiliki pemikiran fleksibel dan terlalu banyak pula orang yang apatis terhadap hal-hal yang memang berguna baginya. Karenanya dogma bersifat otoritatif, yang dimaksud sebagai kepercayaan yang dipegang atas kekuasaan atau sewenang-wenang. Dan untuk pembenaran atas kepercayaannya diperlukan bukti, analisis atau fakta yang mungkin digunkan mungkin juga tidak, tergantung penggunaannya.
            Lihat Link : http://prabusulistyo.wordpress.com/2007/12/11/pamali/
Tepatnya perubahan paradigma tergantung dari kesadaran diri masing-masing individu. Sebagaimana Individu yang telah dipelajari di Antropologi bahwa Individu yaitu seorang atau seseorang secara utuh, artinya sebagai sifat yang tidak bisa dibagi-bagi. Setiap individu mempunyai ciri khas yang berbeda dengan individu lainnya, seperti bentuk fisik, kecerdasan, pola pikir, bakat, keinginan, perasaan dan memiliki tingkat pemahaman tersendiri terhadap suatu objek yang dihadapinya.
Sebagaimana yang telah di jelaskan diatas, akan sulit merubah paradigma yang kaku. Namun, mungkin akan mudah apabila argumen mereka disanggah dengan dialektika serta retorika yang dapat mempengaruhi doktrin mereka menjadi sebuah hipotesis. Barangkali paradigma mereka akan sedikit terbuka dan perlahan-lahan akan mengerti. Dengan begitu, mungkin mereka tidak akan berpikir dangkal dan mudah percaya begitu saja terhadap sumber ajaran yang belum jelas asal-usulnya, atau mitos-mitos yang tidak berguna.

INTEGRASI FILSAFAT, TASAWUF DAN AL-QUR’AN



Pembicara
Prof. Dr. Seyyed Eshaq Hoseini
(Universitas Tehran. Republik Islam Iran)
Dan
Prof. Dr. Seyyed Mofied Hoseini
(Direktur Islamic College for Advance Studies-London)


Adanya Peradaban islam itu bersumber dari Al-Qur’an dan dalam diri Rasulullah selaku utusan untuk menyampaikan kabar gembira bagi umat manusia. Berhubungan dengan integrasi filsafat dan tasawuf itu adalah milik semua umat manusia. Al-Qur’an bukan lah kitab-kitab seperti yang lain.
Sepanjang sejarah filsafat islam, ada tiga tokoh besar yang begitu memberikan perhatian besar pada Al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan para filosof, sufi dan ahli kalam salah satu diantara mereka adalah Mulla Sadra, selain itu Al-Farabi dan Ibnu Sina. Dimana ia adalah kelanjutan dari teosofi transenden yang merupakan hasil perkembanagan dari makna batin Al-Qur’an yang menegaskan antara wahyu dan akal/intelek (al-‘aql). Intelek itu sendiri atau akal merupakan repleksi atas tataran mental, yaitu nabi, batin kemanusiaan yang memanifestasikan diri hanya pada orang lain yang dalam bahasa Al-Qur’an, “mendalam dalam pengetahuan”.
Terkait dengan konteks Al-Qur’an, integrasi filsafat islam merupakan ilmu dasar tambahan dari konteks rasionalitas, kelogisan, keilmiahan Al-Qur’an, bahwa Al-Qur’an bukan hanya normatif tapi juga spekulatif.
Berbicara mengenai Integrasi Filsafat dan Tasawuf, ada begitu banyak sumber surat, ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan proses berpikir atau penggunaan akal yang mendorong dari proses akal yaitu berpikir kemudian meningkat ke tahap instituitif. Artinya akal bukanlah taqlid (sesuatu yang dilarang) yang semata-mata bahasan yang ada pada isi Al-Qur’an itu sendiri. Akan tetapi, akal (al-‘aql) ini lah yang sebenarnya proses pendekatan dari sebuah perjalanan rohaniyah, apa yang ada dalam Al-Qur’an itu adalah menggunakan rasionalitas. Adapun dalam konteks tauhid, itu adalah sebuah perjalanan rohaniyah berpikir secara spesifik (khusus), bukan tauhid yang awam. Dan yang paling utama dari Al-Qur’an mengenai Allah maha tunggal, bukan lah tunggal dari suatu bilangan, tetapi tunggal dari konteks berpikir proses instituisi.
Maka filsafat itu sendiri adalah sebuah proses dari penyikapan Al-Qur’an dan Hadits atau riwayat-riwayat yang tak lain adalah hasil pikir dari para filosof islam. Yang menegaskan inti dari pada Al-Qur’an adlah pembuka tahap proses rohaniyah manusia kepada Tuhannya. Dalam konteks ini bukan hanya pendekatan secara rasional saja, tapi ini ialah bentuk perjalanan manusia. Hal ini terkait dengan kontradiktif antara dua alam; dunia dan akhirat bahwa “Barangsiapa yang sibuk mengerjakan sesuatu demi dunia, maka hubungan dengan Tuhannya akan putus”. Maka dalam proses perjalanan jiwa/rohaniyah, islam lah yang menjadi tuntunannya.
Simpulan dari sebuah integrasi ini ditarik dari kontradiksi terlebih dahulu, bahwa integrasi filsafat-tasawuf tidak lah berhenti; filsafat berhenti ditangan Ibnu rusyd, Kalam ditangan Al-Ghazali dan Tasawuf ditangan Ibnu rabi. Akan tetapi, semua berada pada proses perjalanan rohaniyah manusia terhadap pendekatannya kepada Allah. Jadi, Integrasi Filsafat dan Tasawuf di bangun dari Al-Qur’an. Dimana Al-Qur’an memiliki 2 fungsi utama bagi umat manusia, yaitu Al-Qur’an sebagai sumber dan standar. Artinya segala perjalanan rohaniyah, instituisi, dan eksperimentalis manusia adalah jawaban dari Al-Qur’an.