Di
hari pertama masuk kuliah tepat; hari senin tanggal 2 september 2013,
saya mendapatkan ragam teman yang berbeda-beda sikap, sifat, pengetahuan dan
ide/gagasan selain dari pada tempat asal kelahiran. Selain itu, saya dapati
juga dari asrama yang notabennya pesantren mahasiswa di depan man 2 bandung
tempat saya tinggal sekarang. Di asrama maupun di kampus saya banyak
mendapatkan pengetahuan dari keduanya.
Di
setiap kita membicarakan sesuatu yang menyangkut doktrin agama, maka tak
terlepas dari gagasan/ide, pengetahuan maupun pengalaman masing-masing. Menurut
saya hal ini wajar-wajar saja. Namun salah satu dari kita tiba-tiba membuka
mulut dan mengungkapkan kata PAMALI !!!, dan kemudian dilanjutkan dengan
argumennya yang datang dari nenek moyang. Terbesit dalam pikiran saya, dari
mana datangnya sumber hukum Pamali tersebut ?. Ironisnya, kata Pamali yang
diucapakannya seolah-olah meyakinkan yang bersumber dari hukum yang terpercaya.
Lihat di link : http://www.nyunyu.com/main-article/detail/pamali-1
Barangkali
konsep Pamali berasal dari mitos, yang segala argumennya disandarkan kepada
kepercayaan dari nenek moyang. Dapat kita katakan kepercayaan adat-istiadat
yang turun temurun berlangsung tanpa meninggalkan jejak sumber informasi dari
mana berasal doktrin tersebut. Kita sebut pemikiran itu primitif.
Saya
sangat khawatir, di samping jamannya era globalisasi, modernisasi, kemajuan teknologi,
dan apa lah istilah yang lainnya dimana taraf hidup manusia tinggi, di lihat
dari kuantitas maupun kualitas hidup, informasi dan komunikasi apa pun bisa
kita dapatkan, dijangkau bahkan kita genggam dalam tangan. Dan apapun yang
menyangkut informasi permasalahan sumber hukum khususnya di ruang lingkup
agama. Ternyata di tengah-tengah maju nya jaman masih ada orang yang percaya
dan mengacu hukum fiqih kehidupan pada sumber yang usang, mutasabihat, tidak
jaman, kaku dan tidak jelas.
Kita
amati, isi/argumen dari pada ungkapan Pamali itu haruslah mendapatkan perhatian
yang mendalam (Deep Care). Ungkapan Pamali yang sering saya
dengar salah satunya adalah “Pamali, jangan diam/duduk di depan pintu !”. dari
ungkapan tersebut tidak dilanjutkan dengan dalil setidaknya argumen/alasan yang
melarang jangan diam/duduk di depan pintu tersebut. Barangkali dapat saya
simpulkan alasan dari ungkapan tersebut; karena menghalangi jalan orang-orang
yang akan lewat pintu tersebut.
Namun
paradigma orang yang percaya hukum Pamali adalah larangan yang syah tanpa
memikirkan alasan/argumen yang muncul dari kata Pamali itu. Orang kalau sudah
mengucapkan kata “Pamali ! bla bla bla” cukup sampai disitu. Tanpa menggunakan
argumen yang logis, walau pun terkadang logis dan tidak logis.
Barangkali
hal ini ada kaitannya dengan metode penyebaran agama islam yang dilakukan oleh
para wali pada masa penjajahan, dimana agama khususnya islam dan
pendidikan pada saat itu sangat sulit
didapatkan oleh bangsa indonesia. Dengan sembunyi-sembunyi para wali berupaya
menyebarkan ajaran agama melalui kebudayaan yang satu-satunya bertahan dan bisa
tetap dilaksanakan tanpa harus dicegah oleh koloni. Berangsur-angsur para wali
memasukan ajaran agama islam melalui kebudayaan. Dan pada saat itu indonesia
sedang terpengaruhi oleh kebudayaan agama hindu yang sedang berjaya.
Paradigma
kebanyakan orang bahwa apa yang telah diajarkan dan berkembang pada masa dahulu,
hal itu adalah seolah-olah ajaran yang syah dan patut untuk dilestarikan dan
sudah menjadi tradisi yang wajib dilaksanakan. Anggapan mereka ajaran yang
dilakukannya sakral selama tidak melanggar hukum alam dan hukum agama yang
terpenting.
Saya
sebagai makhluk yang berpikir lagi berfikir tidak menarik kesimpulan masalah
yang terjadi diatas merupakan falasi (kesesatan berpikir), tetapi apa yang
telah terjadi adalah doktrin dari gagasan mereka yang tidak berpikir secara
fleksibel atau kaku. Dan kaitannya pemikiran islam dimasa kini ada 3, yaitu
islam tradisional, fundamental dan modern. Dan saya mempertanyakan : Bagaimana
pemikiran islam tradisional, fundamental dan modern tidak bersifat sekuler
antara satu sama dengan yang lainnya ? Barangkali itu pertanyaan yang tidak
mesti dijawab sekarang dan dapat dijawab setelah pertanyaan berikut “Bagaimana
solusi menghilangkan doktrin pamali seiring berkembangnya jaman ?
Terlalu
sukar bagi kita untuk merubah paradigma yang sudah membudaya, setidaknya masih
ada orang yang memiliki pemikiran fleksibel dan terlalu banyak pula orang yang
apatis terhadap hal-hal yang memang berguna baginya. Karenanya dogma bersifat
otoritatif, yang dimaksud sebagai kepercayaan yang dipegang atas kekuasaan atau
sewenang-wenang. Dan untuk pembenaran atas kepercayaannya diperlukan bukti,
analisis atau fakta yang mungkin digunkan mungkin juga tidak, tergantung
penggunaannya.
Tepatnya perubahan paradigma tergantung dari
kesadaran diri masing-masing individu. Sebagaimana Individu yang telah
dipelajari di Antropologi bahwa Individu yaitu seorang atau seseorang secara
utuh, artinya sebagai sifat yang tidak bisa dibagi-bagi. Setiap individu
mempunyai ciri khas yang berbeda dengan individu lainnya, seperti bentuk fisik,
kecerdasan, pola pikir, bakat, keinginan, perasaan dan memiliki tingkat
pemahaman tersendiri terhadap suatu objek yang dihadapinya.
Sebagaimana yang telah di jelaskan diatas,
akan sulit merubah paradigma yang kaku. Namun, mungkin akan mudah apabila argumen
mereka disanggah dengan dialektika serta retorika yang dapat mempengaruhi
doktrin mereka menjadi sebuah hipotesis. Barangkali paradigma mereka akan
sedikit terbuka dan perlahan-lahan akan mengerti. Dengan begitu, mungkin mereka
tidak akan berpikir dangkal dan mudah percaya begitu saja terhadap sumber ajaran
yang belum jelas asal-usulnya, atau mitos-mitos yang tidak berguna.