Kamis, 25 Juni 2015

Pemikiran H M Rasyidi

Pemikiran H M Rasyidi

Pemikiran Teologi  
H. M Rasyidi
Ada 3 hal yang selalu diingat orang-orang bahwa Pak Rasyidi: Pertama, ialah peranan beliau sebagai salah satu pejuang bagi adanya pengakuan kedaulatan Indonesia merdeka dari Negara-negara Islam. Kedua, beliau adalah Menteri Agama pertama Indonesia. Ketiga, pengembaraan intelekual ke Negara-negara Barat.                (Madjid, 1985:216)

Islam sebagai agama yang utuh, mengandung  konsep yang menyeluruh terhadap semua aspek kehidupan manusia dalam mencapai  hakikat dan tujuan hidupnya. Dorongan dan upaya untuk mengimplementasikan ajaran- ajaran Al-Quran yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadis tidak dapat terlepas dari perkembangan politik, sosial, budaya.
Sejarah mencatat bahwa diantara sekian banyak disiplin ilmu yang tumbuh dan berkembang dalam islam yang melingkupi tiga aspek yaitu tauhid, fiqh dan tasawuf yang menjadi polemik dikalangan para ulama yang menimbulkan berbagai aliran dalam islam.
Demikian banyak sekali tokoh- tokoh pemikiran islam dalam teologi kalam (teologi) di indonesia seperti  H. M. Rasyidi, Harun Nasution, Nurcholas Madjid, Utomo Danajaya dan lainnya. Tokoh-tokoh diatas memiliki peran aktif dalam meningkatkan kualitas dan pencerahan kajian islam di indonesia yang menyumbangkan pemikirannya lewat buku-buku karangan mereka yang dengannya kita dapat mengetahui pandangan-pandangan mereka mengenai  aspek– aspek agama islam.
Berikut penulis akan menjelaskan pemikiran kalam dari salah satu tokoh yang merupakan pejuang kedaulatan merdeka Negara tercinta kita, Indonesia, yaitu H. M Rasyidi. Demikian Penulis mengharapkan dari Makalah ini kemudian pembaca sekalian mendapatkan wawasan tentang seorang tokoh yang patut menjadi panutan bagi generasi muda mendatang, mengingat semakin jaman maju semakin mundurnya pemikiran, terkhusus pemikiran kalam untuk masa kini.
H. M RASYIDI
A.  RIWAYAT HIDUP
H. M Rasyidi atau Prof. DR. Rasjidi (baca : Rasyidi, ejaan lama) lahir di Kotagede, Yogyakarta, pada 20 Mei 1915 atau 4 Rajab 1333 H, dan wafat pada 30 Januari 2001.[1] Nama kecilnya adalah Saridi namun setelah menjadi murid Ahmad Syurkati, pimpinan Al-Irsyad diberi nama baru sebagai “Muhammad Rasjidi”. Namun nama baru tersebut secara resmi baru dipakai oleh Saridi pasca menunaikan ibadah haji,[2] beberapa tahun kemudian nama kecil Saridi demikian menjadi nama besar H. M Rasyidi.
Beliau lahir dalam sebuah lingkungan Jawa yang kental dengan nuansa keislaman dan berasal dari keluarga Abangan.[3] yaitu penganut agama Islam namun tidak melakukan ibadah Islam dalam kesehariannya sebagaimana mestinya.[4] Dikatakan bahwa keluarga beliau ini bernaung di rumah Joglo tempat beliau dibesarkan yang pada hari-hari tertentu tidak melewatkan adanya pemasangan sesaji.[5]
Sebagaimana halnya anak-anak yang sebaya dengannya, Beliau masuk sekolah di Kotogede yaitu sekolah Ongko Loro yaitu sekolah dasar yang bahasa pengantarnya menggunakan bahasa daerah dan kelas tertinggi adalah kelas Lima. Sementara itu pada tanggal 15 nopember 1912 didirikan perkumpulan Muhammadiyah oleh K.H. Ahmad dahlan, yang menerobos sampai keperbatasan Yogyakarta. Beliau pun tertarik dengan sekolah tersebut hingga akhirnya dia pindah ke sekolah  yang baru berdiri tersebut. Kemudian beliau meneruskan pendidikan di perguruan al- Irsyad.
Pada tahun 1931, beliau berangkat pula ke Kairo bersama temannya Tahir Ibrahim, seorang putra Minangkabau anak dari Syekh Ibrahim Musa. Pengaruh lingkungan dan suasana terasa mempengaruhi Rasyidi yaitu pergolakan zaman perjuangan menuju kemerdekaan tanah air. Tetapi ia selalu ingat bahwa  tugas utamanya di Kairo adalah menuntut ilmu pengetahuan. Beliau menimba ilmu dengan tekun mempelajari bahasa Inggris dan Perancis secara intensif dan berhasil meraih diploma sekolah menengah umum dan agama dan hafal al- Qur’an secara lengkap 30 juz.
Setelah mendapatkan ijazah tersebut beliau pun diterima di Darul Ulum, tetapi baru setengah bulan belajar di sana, dia merasa bahwa jurusan itu tidak cocok dengan panggilan jiwanya. Akhirnya dia memilih pelajaran pada bidang filsafat dan agama di Universitas  Kairo Mesir. Rasyidi merasa beruntung dengan menetapkan pilihan pada jurusan filsafat dan Agama sebab jurusan itu masih baru dan peminatnya belum banyak, guru yang memberikan kuliah sebagian besar  adalah dosen di Universitas Sarbonne. Salah satu dosen yang mengajarnya adalah Syekh Mustafa Abdul Raziq yang pernah menjadi murid langsung dari Muhamad Abduh.[6]
Setelah duduk di tingkat III, beliau mengambil cuti untuk menunaikan ibadah haji bersama Abdul Kahar Muzakkir. Dan pada tahun itu pula Rasyidi mendapatkan ijazah, dan menjadi putra Indonesia yang berhasil lulus nomor satu setelah tujuh tahun belajar di Kairo. Maka tiba saatnya Mesir ditinggalkannya dan kembali ke tanah air.
Pada usia 19 tahun  Rasyidi sudah diikat dengan pernikahan yaitu “ nikah gantung” oleh kedua orang tua masing- masing, tujuh tahun kemudian nikah gantung itu diresmikan dengan nikah sungguhan secara Islam. Pernikahan itu dilaksanakan pada tanggal 26 Oktober 1938 di Kotogede, perayaan dilakukan secara besar-besaran karena Siti Sa’adah merupakan putri bungsu dari haji Muzakkir.
Setelah menikah Rasyidi mengisi waktunya tidak hanya mengajar di Madrasah Ma’ad Islamy pimpinan kiyai Haji Amir di Kotogede dan Pesantren Luhur di Solo, beliau juga aktif dalam berbagai perkumpulan dalam masyarakat. Hingga pada akhirnya Rasyidi menjabat sebagai komentator. Sesudah diproklamirkan kemerdekaan Indonesia dan terbentuknya kabinet Sjahrir pada tanggal 14 November 1945, dalam kabinet tersebut Rasyidi ditunjuk sebagai Menteri Negara yang diketahuinya lewat koran merdeka yang terbit di Jakarta, setelah lebih kurang dua bulan menjadi menteri negara kemudian ditunjuk pula menjadi menteri Agama.
Peran Rasyidi dalam mengemban Tugas Negara terlihat sewaktu pemerintah mengambil keputusan mengirim delegasi diplomatik RI ke negara-negara Timur Tengah pada tanggal 17 maret 1947 delegasi waktu itu diketuai oleh H. Agus Salim, sedangkan Rasyidi sebagai sekretaris merangkap bendahara. Setelah penyerahan kedaulatan RI, Rasyidi diminta datang ke Jakarta untuk konsultan. Dalam pembicaraan disepakati, bahwa Rasyidi selain Dubes untuk Mesir juga untuk Arab, berkedudukan di Kairo. Setelah 2 tahun, kemudian pada tahun 1953 Rasyidi dipindahkan ke Taheran untuk menjabat Dubes RI di Iran dan Afganistan, hanya 11 bulan di sana kemudian dipanggil ke Jakarta, selanjutnya ia ditunjuk sebagai Dirjen penerangan Deplu oleh Sekjen Deparlu Mr. Sutan M. Rasyid.
Kemudian ketika Lembertus Nico Palar ditunjuk sebagai wakil tetap RI untuk PBB singgah di Kairo, dia meminta Rasyidi untuk perjalanannya ke Paris” (markas PBB waktu itu). Pada kesempatan itu Rasyidi memanfaatkan untuk datang ke Universitas Sarbone di sela-sela sidang PBB. Sekembali dari Paris timbullah semangat baginya untuk pergi kembali ke Paris, maka ia berfikir bagaimana cara mengumpulkan biaya, dan pada waktu itu datanglah seorang petugas dari “Rockefeller Foundation” yang bersedia membiayai selama 2 tahun, tapi bagi Rasyidi tidak perlu  satu tahun, tapi cukup 4 bulan saja.
Setelah belajar di sana, maka pada tanggal 23 maret 1956 Rasyidi menyelesaikan belajar di sana dengan thesis I Islam en Indonesia ou consideration critique du livre tjentini dan mendapat yudisium cum laude.[7]
Beberapa hari kemudian disaat ada kabar untuk menyatakan bahwa Rasyidi yang pernah ikut dalam partai politik Masyumi saingan NU. Pada tahun 1950 an ini, diangkat sebagai Dubes luar biasa berkuasa penuh  dari RI untuk Republik Islam pakistan berkedudukan di Karachi.   
Sejak tahun 1965 Rasyidi sudah aktif dalam rabithah alam Islami dan dia pernah ditunjuk oleh pimpinan pusat Rabithah yang berkedudukan di Jeddah, untuk mengepalai Rabithah di Indonesia. Disamping itu Rasyidi juga sebagai anggota Majelis Ta’sisi (dengan konstitusi yang beranggotakan lima puluh orang dari berbagai negara islam kecuali Iran  yang menganut faham Syi’ah).


B.  LATAR BELAKANG PEMIKIRAN H M RASYIDI
Sebagaimana diketahui setiap tindakan perilaku serta pola pikir seseorang tidak luput dari pengaruh lingkungan, baik lingkungan keluarga secara mikro maupun lingkungan tempat tinggal dan pendidikan secara Makro. Demikian juga halnya dengan Rasyidi sebagai seorang intelektual muslim yang telah menyelamatkan dari ajaran-ajaran yang dianggapnya datang dari luar Islam. Dia juga dikenal sebagai seorang pengkritik yang tajam, karena analisa masalahnya yang tajam dan mendasar dia tidak segan-segan mengkritik seorang yang dianggapnya telah salah dalam berpikir, dan ia juga telah ikut membangkitkan pembaharuan pemikiran Islam dan mempertajam daya nalar sarjana muslim Indonesia.[8]
Beliau memiliki jiwa yang menyala-nyala dan sidikit emosional. Emosi yang digugah oleh kewaspadaan yang tinggi karena cintanya pada agama, maka hatinya terasa tergelitik dan terpanggil untuk melakukan pembelaan dengan kemampuan ilmunya apabila mendengar, melihat atau membaca hal-hal yang dianggapnya merugikan dan mengurangi kesucian agama.
Dalam bukunya “ Islam dan Kebatinan” mengungkapkan kenangan kecilnya hidup ditengah masyarakat kampung di Kotogede Yogyakarta tidak jauh dari rumahnya berdiri sebuah mesjid dan maqam. Di sana ada pula tempat pemandian yang dihuni oleh seekor kura-kura besar yang dianggap keramat, seorang perempuan tua yang selalu berada di maqam tersebut bertugas melaksanakan sesaji dan menyampaikan permohonan orang kepada arwah sang penembahan agar dikabulkan.[9] Hampir seluruh penduduk kotogede pemeluk agama Islam yang taat dan setiap shalat jum’at mesjid selalu penuh sesak hingga jama’ah melimpah keluar.[10]
Demikianlah beliau dilahirkan di lingkungan seperti itu, mungkin inilah yang membuat dia sensitif dan sangat peka terhadap masalah keagamaan yang selalu melakukan pembelaaan dan mengkritik hal-hal yang dianggapnya telah merusak kemurniaan Islam. Dengan demikian dia merasa telah melakukan yang wajar dan perlu bagi kesucian agamanya yang merupakan suatu yang wajib dilakukan oleh setiap muslim yang sadar.
Adapun yang lebih menarik perhatian dari pemikiran beliau, sebagaimana diawal dijelaskan bahwa pengembaraan intelektualnya ke Negara-negara Barat. Beliau berikut A. Mukti Ali, Harun Nasution dan jauh kemudian menyusul Nurcholish Madjid. Mereka menekuni bidang yang sama dan dapat memperoleh kesempatan berkenalan dengan metode berpikir ilmiah Barat.
Dalam pengembaraannya inilah, beliau dapat mempelajari dan menganalisa cara berpikir orang barat. Bahkan beliau sempat mengikuti kuliah teologi Kristen selama satu tahun bersama sepuluh orang pendeta sehingga beliau dapat mengetahui cara berpikir mereka. Diceritakan pula pada suatu diskusi rutin sekali seminggu, didatangkan seorang penceramah kaliber internasional yaitu Joseph Schacht, tokoh internasional ini seorang yang dianggap selalu benar dan tak dapat dibantah lagi segala apa yang disampaikannya. Para hadidrin khusunya guru Besar merasa bangga dan puas kecuali Rasyidi yang berani membantah, namun karena bantahannya itu sehingga ia sempat diperiksa dan diadili oleh direktur dan para guru besar. Karena dianggap telah menghina wibawa pemimpin orientalis tersebut. Setelah kebenaran berada dipihak Rasyidi, dia berkeyakinan bahwa yang fanatik adalah orang-orang Barat bukan kaum muslimin.
Usaha yang dilakukan Rasyidi sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Murtadha Muthahhari dalam bukunya “ Islam dan Tantangan Zaman” bahwa pada pundak mereka Mujtahid” terletak kewajiban menjelaskan hukum Islam. Dan inilah penggerak dalam Islam.[11]


C.  PEMKIRAN H M RASYIDI
1.    Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Menurut Dr. H.M. Rasjidi dalam Filsafat Agama, hingga sekarang yang berlaku dalam dunia Islam ialah, bahwa Tuhan telah memberi akal kepada manusia sehingga dengan akal itu manusia dapat memikirkan hal-hal yang melingkunginya dengan alam kehidupannya dan akhirnya ia dapat mengetahui dengan akalnya tentang adanya Tuhan dan sifat-sifat Tuhan, kemudian Tuhan menambah suatu hal baru, yaitu menurunkan wahyu kepada beberapa orang yang diangkatnya sebagai utusan-Nya diantaranya kepada nabi Musa AS, Nabi Isa AS dan yang terakhir kepada Nabi Muhammad SAW.
Mengenai akal, beliau berpendapat bahwa akal tidak mampu mengetahui baik dan buruk, hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya aliran eksistensialisme sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme dalam filsafat Barat.[12] Dengan menganggap akal dapat mengetahui baik dan buruk berarti juga meremehkan ayat-ayat al Qur’an. Seperti yang dipahami oleh Muhamad Abduh dan yang dikembangkan oleh Harun Nasution di Indonesia. Bagi Mu’tazilah akal hanya bisa mengetahuai empat persoalan yaitu mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik buruk dan kewajiban mengetahui baik buruk tersebut.
2.    Perbuatan Manusia
Menurut H.M. Rasyidi, perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa manusia keseluruhan punya hak dan kebebasan dalam kehidupan. Dalam zaman yang tidak menentu seperti sekarang ini, banyak orang bingung karena pelaksanan hukum tidak sesuai dengan yang semestinya. Seperti ada orang yang terang-terangan salah menurut hukum, tetapi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu mereka dibebaskan dari tuntutan. Sebaliknya ada orang yang jujur bekerja sebagai seorang warga negara yang taat dan cinta pada negara. Namun dengan kejujurannya itu membuat orang tidak senang. Sehingga ia kadang-kadang dilecehkan oleh orang lain.[13]
Penggambaran beliau di atas, secara praktis masih terdapat di Indonesia pada zaman sekarang, seperti yang kita lihat dalam media elektronik dan media masa yang begitu banyak kasus yang tidak sesuai dengan hukum yang semestinya. Contohnya nenek yang miskin mengambil biji buah coklat yang tidak bermaksud untuk mencuri disidang dan dihukum penjara. Namun banyak orang kaya yang jelas-jelas mencuri uang negara (korupsi) ratusan Milyar hukuman yang diberikan tidak setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya.
Dari penjelasan di atas pula dapat dipahami bahwa manusia mempunyai hak dan kebebasan dalam kehidupannya untuk menuju ke arah yang lebih baik yang diingininya. Begitu pula halnya kebebasan dalam beragama. Berdasarkan informasi dan pedoman dari Al-Qur’an bahwa manusia itu bebas untuk memilih kepercayaan sesuai keyakinannya karena tidak ada paksaan untuk memeluk suatu agama.[14] Seperti yang terdapat dalam  al- Qur’an surat al-Baqarah (2: 256).
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas  jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.





3.    Konsep Iman
Konsep iman merupakan konsep dasar dalam kajian teologi Islam dan iman kepada Allah wajib dan dasar  utama dalam aqidah Islam. Dalam aliran-aliran yang berpendapat bahwa akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, iman tidak bisa mempunyai arti fasif, iman tidak bisa mempunyai arti tasdiq yaitu menerima apa yang disampaikan orang sebagai benar. Bagi aliran ini iman mesti mempunyai pengertian aktif.[15]
Pemahaman tentang konsep iman menurut H.M. Rasyidi, dilihat dari kritikan tulisan beliau dalam buku koreksi atas tulisan Drs. Nurcholish Madjid tentang sekulerisasi. Yang intinya beliau menolak faham Cak Nur yang menganggap akal itu mutlak dalam bidang – bidang kehidupan dunia. Hal ini beliau bandingkan dengan kemutlakan fikiran pada filsafat Yunani yang dimulai dari Socrates kemudian pada zaman pertengahan ketika Gereja Katolik berkuasa pada abad 13. Bahwa yang perlu adalah iman bukan fikiran sebagai semboyan pada zaman pertengahan “ Credo Ut Intelligam” yang artinya aku percaya agar aku dapat mengerti, bukan aku mengerti, maka aku percaya.[16]

D.  Karya-Karya H M Rasyidi
Adapun karya-karya H.M. Rasyidi  berupa karangan –karangan dan juga hasil terjemahan-terjemahan, sebagai berikut:[17]
1.    Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid Tentang Sekulerisasi
2.    Filsafat Agama
3.    Islam di Indonesia Di Zaman Modern
4.     Keutamaan Hukum Islam
5.     Islam dan Kebatinan Islam Menentang Komunisme
6.     Islam dan Sosialisme
7.     Mengapa Aku tetap Memeluk Agama Islam
8.    Dari Rasyidi dan Maududi Kepada Paus Paulus VI
9.    Sikap umat Islam Indonesia terhadap Expansi Kristen
10.     Agama dan Etik Disekitar Kebatinan  Kasus RUU Perkawinan Dalam Hubungan Islam dan Kristen
11.     Empat kulia Agama Islam pada Perguruan Tinggi
12.     Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Islam.
13.     Sidang Raya Dewan Gereja Sedunia di Jakarta 1975 ( artinya bagi dunia Islam)
14.     Koreksi terhadap Dr, Harun Nasution tentang “ Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya”
15.     Bibel Qur’an dan Sains Modern ( judul Aslinya : la bible le coran et la science oleh Dr. Maurice bucaille)






















PENUTUP
Demikianlah penjelasan mengenai Tokoh  H M Rasyidi, selain seorang Menteri Agama RI beliau juga adalah seorang pembaharu Islam dengan karya-karyanya yang menginspirasi masyarakat, para tokoh lain untuk lebih mengkaji kembali pemahaman dalam pemurnian islam. Dengan kehidupan beliau demikian adalah sebuah sejarah sosial yang melukiskan keadaan keagamaan dan menjadi objek kritisisme pula. Kemudian dengan pengalaman kehidupan beliau pula dapat membimbing kalangan muslim dalam memandang dan memahami Islam.
Dalam bahasan pemikirannya terkait dengan pengembaraan intelektualnya ke Negara barat pun tak lain adalah cara ia menganalisa pemahaman barat terhadap relevansi yang terdapat pada di islam. Demikian lah pemikirannya dapat membuka jalan pemikiran dan kritis muslim Indonesia dalam memahami Islam secara murni. Bukan memahami Islam sebagai sesuatu yang harus diikuti saja, mengingat latar belakang kehidupan beragama beliau sebagai Islam Abagan.
Dengan jelas pula dalam pemikirannya mengenai akal dan wahyu, perbuatan manusia dan konsep iman tadi merupakan pemahaman beliau terhadap fakta sosial yang terjadi.
Demikian penulis menjelaskan pemikiran kalam dari salah satu tokoh yang merupakan pejuang kedaulatan merdeka Negara tercinta kita, Indonesia ini, yaitu H. M Rasyidi. Demikian Penulis mengharapkan dari Makalah ini kemudian pembaca sekalian mendapatkan wawasan tentang seorang tokoh yang patut menjadi panutan bagi generasi muda mendatang, mengingat semakin jaman maju semakin mundurnya pemikiran, terkhusus pemikiran kalam untuk masa kini.








DAFTRA PUSTAKA
Azra Azyumardi (ed.). 1998. Menteri – Menteri Agama RI : Biografi Sosial – Politik. (Indonesian-Netherlands Cooperations In Islamic Studies (INIS) dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Badan Litbang Agama Departemen Agama RI, Jakarta).
Herry Mohamad, Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, ( Jakarta: Gema Insani, 2006).
Http://amry90.blogspot.com/2013/10/h-m-rasyidi-sistem-dan-corak-pemikiran.html
Http:// www.wikipedia/H-M-Rasyidi.html
Muslim Romdoni, 2005. 72 Tokoh Muslim Indonesia, Pola Pikir Gagasan Kiprah dan Falsafah. (Jakarta : Restu Ilahi).
Muthahhari Murtadhah, 1996.  Islam dan Tantangan Zaman, cet. Ke- 1. (Bandung : Pustaka Hidayah).
Nasution Harun, 1986. Teologi Islam, cet 2013 (Jakarta: UI Press).
Rasjidi H. M, 1967. Islam dan Kebatinan. (Yayasan Islam Studi Club Indonesia, Jakarta).
Rasyidi H M, 1986. Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution, tentang” Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya “, (Jakarta : Bulan Bintang).
Rasyidi H M, 1972. Sekulerisasi Dalam Persoalan Lagi, Suatu  Koreksi atas tulisan  Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekulerisasi, (Jakarta : yayasan Bangkit).


[1] Mohamad Herry, Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, ( Jakarta: Gema Insani, 2006). Hal. 79.
[2] Dr. Azyumardi Azra (ed.). Menteri – Menteri Agama RI : Biografi Sosial – Politik. (Indonesian-Netherlands Cooperations In Islamic Studies (INIS) dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Badan Litbang Agama Departemen Agama RI, Jakarta, 1998). Hal. 11-12.
[3]Abangan adalah yang mewakili suatu titik berat pada Aspek animisme dari singkrifisme jawa yang melingkupi semuanya dan secar luas dihubungkan dengan elemen petani.
[4] Dr. Azyumardi Azra (ed.). Ibid. Hal. 1.
[5] Dr. H. M. Rasjidi. Islam dan Kebatinan. (Yayasan Islam Studi Club Indonesia, Jakarta, 1967). Hal. 5.
[6]Mohammad Herry, Op.Cit. Hal 81.
[7] Ibid. Hal. 82
[8] Romdoni Muslim, 72 Tokoh Muslim Indonesia, Pola Pikir Gagasan Kiprah dan Falsafah. (Jakarta : Restu Ilahi, 2005). Hal. 103.
[9] H.M. Rasyidi, Islam dan Kebatinan  (Jakarta : Yayasan Islam Studi Club Indonesia, 1967). Hal. 5.
[10] Ibid.

[11] Murtadhah Muthahhari,  Islam dan Tantangan Zaman. ( Bandung : Pustaka Hidayah, 1996), cet. Ke- 1. Hal. 163 .
[12] Kritik beliau terhadap Harun Nasution dalam buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Lihat : H M Rasyidi Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution, tentang” Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya “, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1977) Hal. 52.
[13] H.M. Rasyidi. Ibid. Hal. 17.
[14] Ibid.. Hal. 105-106.
[15] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), cet 2013. Hal. 147.
[16] H.M. Rasyidi. Sekulerisasi Dalam Persoalan Lagi, Suatu  Koreksi atas tulisan  Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekulerisasi, (Jakarta : yayasan Bangkit, 1972). Hal. 3.
[17] 70 tahun Prof.DR.H.M.Rasjidi. Penerbit Harian Umum Pelita. Cetakan Pertama Juni 1985


 
 

 

Tidak ada komentar: