Minggu, 24 Mei 2015

Prilaku Manusia Sebagai Teks



A.  Pendahuluan
Peradaban manusia saat ini adalah penggambaran bukti jejak kehidupan dimasa lalu sejak awal munculnya peradaban hingga masa kini. Dalam sejarah perkembangan manusia tak terdapat seorangpun yang hidup menyendiri atau terpisah dari kelompok manusia lainnya, kecuali dalam keadaan terpaksa dan itu pun hanyalah untuk sementara waktu. Manusia sebagai individu (perseorangan) mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Manusia lahir, hidup berkembang dan meninggal dunia di dalam masyarakat.
Manusia selaku aktor penting dalam kehidupan tentu senantiasa bergerak dan bertindak. Bahkan dalam hal ini diam pun adalah sebuah tindakan, tindakan berdiam diri. Tapi, tidak semua tindakan bersisa atau mengesankan. Dalam perspektif tertentu, sesuatu sikap, tindakan, perilaku menjadi bermakna atau bernilai ketika ia dibicarakan, diartikulasikan, diwacanakan.
Demikian sejarah telah membuktikan Manusia sebagai peran utama (objek) merupakan satu-satunya makhluk yang berkemampuan mengendalikan kehidupannya, membawa serta basic drives (yang mengendalikana)[1] yang penting ada pada manusia.[2] Sekaligus merupakan kajian bagi dirinya sendiri sebagai refleksi dirinya dimasa lalu.

B.  Perilaku Manusia sebagai Teks
Sebagaimana yang telah dijelaskan tadi diatas bahwa Manusia selaku aktor penting dalam kehidupan tentu senantiasa bergerak dan bertindak. Dan segala sikap, tindakan, perilaku manusia menjadi bermakna atau bernilai ketika ia dibicarakan, diartikulasikan, diwacanakan. Dua orang yang bertemu secara sepintas tanpa berkomunikasi, mengobrol, kemudian mereka segera berpisah, tidak serta merta dapat saling memaknai dengan baik, sebab tidak ada pengartikulasian dan pewacanaan yang intens, tidak ada upaya peleburan dua khazanah maknawi masing-masing pihak.
Lewat penalaran tersebut, lebih jauh kita pun melihat bahwa tindakan dari masa lalu dapat bermakna ketika ia diwacanakan, dalam artian ditekskan, dituliskan, dibekukan menjadi teks. Sebuah tindakan, peristiwa, pengalaman, akan bermakna lebih panjang ketika ia ditransformasikan ke dalam bentuk teks, didokumentasikan secara tertulis; misalnya, menjadi sebuah autobiografi, biografi, catatan perjalanan, dan lain sebagainya. Dan saat sebuah teks dibaca, saat itulah terjadi pengartikulasian, pewacanaan, perjumpaan dan peleburan antara khazanah maknawi teks dan khazanah maknawi pembacanya. Sebuah perjumpaan yang melampaui ruang dan waktu. Sebuah perjumpaan yang memungkinkan melahirkan makna baru.
Teks, oleh karena itu memiliki posisi yang penting dalam paradigma tindakan: teks menjadi sampel pemberian makna pada tindakan. Dan teks sendiri dimungkinkan kemunculannya oleh interaksi, tafsir, serta transformasi makna. Dalam artian teks tidak mengada dengan tiba-tiba atau tanpa disiplin logika teruji. Pada tingkat personal maupun pada tingkat yang lebih luas, teks pun menjadi penting bagi manusia dalam upayanya memahami realitas diri, lingkungan, kebudayaan, kehidupan, dan seterusnya.
Begitu pula teks muncul dari sebab masalah-masalah hidup manusia itu sendiri. Hidup adalah aktivitas dan segala aktivitas tersebut membawa masalah-masalah tertentu.[3] Masalah-masalah kehidupan manusia ini kemudian menjadi sumber munculnya topik pewacanaan dari sikap, tindakan dan perilaku manusia. Yang jika di aktualkan dalam bentuk pengalaman bahkan temuan manusia itu sendiri, kini yang kita sebut sebagai pengetahuan.
Dalam pandangan tersebut, seorang individu yang memiliki dokumentasi tertulis, catatan harian misalnya, dianggap memiliki kemungkinan lebih baik untuk terus-menerus merumuskan dirinya. Teks, dalam hal ini, menjadi representasi keakuan; sesuatu yang sangat mungkin selalu menjadi, mengalami berbagai perubahan dan perkembangan. Oleh karena itu, tatkala seseorang membaca teks yang diproduksinya pada masa lalu, ia sedang melakukan nostalgia terhadap dirinya sendiri. Dan nostalgia itu bisa jadi menghasilkan makna yang baru, bahkan tak terduga. Ini pada tataran personal.
Pada tataran kebudayaan, hal serupa pun berlaku. Kebudayaan Barat memiliki dokumentasi teks tertulis yang kaya. Keberadaan teks-teks dokumentatif, argumentatif, eksploratif, diskursif, memungkinkan terus dilakukannya kajian atas peristiwa, tindakan, pun atas berbagai teori yang telah dianggap mapan. Maka ranah keilmuan, dalam tradisi Barat dewasa ini, menjadi ranah yang sangat dinamis.
Kebudayaan Timur, tentu, tidak kalah kaya akan makna, nilai, falsafah, kebijaksanaan—bahkan bisa jadi lebih kaya. Namun, dalam soal falsafah misalnya, nilai-nilai atau makna-makna yang kaya dan mendalam itu, di negeri kita misalnya, bisa jadi masih banyak terkubur dalam berbagai artefak non-teks: tembang-tembang, mitologi, tari-tarian, dll. Dalam bidang sains, kita rasanya masih merasa gagap merumuskan, misalnya, teknologi bagaimanakah proses para leluhur kita saat membangun candi-candi megah di Nusantara. Begitu pun segala macam kearifan dan pengetahuan lokal seolah lebih banyak berhenti menjadi eksotisme saja.
Demikianlah teks terlihat sangat ampuh sebagai kendaraan manusia dalam memaknai dan memahami realitas. Tetapi pandangan ini bukan berarti sesuatu yang final, yang berlaku universal secara mutlak. Rasionalisme atau akal budi, pandangan yang cenderung menempatkan teks sebagai sesuatu yang demikian sentral itu, ternyata tidak pernah secara sempurna menangkap “kenyataan”. Sebab bagaimana pun teks adalah sebuah narasi dan sebuah konstruksi.
Di dalam narasi selalu ada konfigurasi, rekayasa, pembatasan dan Realitas, dengan demikian, akan selalu tereduksi, terluput sebagian, bagaimana pun canggihnya akal-akalan teoretis abstrak tentang konsep-konsep universal. Menurut Bambang Sugiharto, akal budi tidak penah memadai di depan “kenyataan murni”.[4]
Akan tetapi, prinsip tentang akal budi yang tidak pernah memadai itu kata Sugiharto, sama sekali tidak hendak mengatakan bahwa rasionalitas harus disingkirkan. Persoalannya hanyalah bahwa diperlukan kewaspadaan terhadap pengagungan rasionalitas yang berlebihan dan terutama pada kecenderungan kuat, yang sering tidak disadari, untuk menyamakan rasionalitas dengan keilmiahan; bahwa seakan yang rasional adalah yang ilmiah saja. Dalam kenyataan hidup sehari-hari, sering sangat jelas juga bahwa memaksakan sikap ilmiah terus-menerus terhadap segala hal justru lebih merupakan takhayul (takhayul ilmiah) ketimbang sikap sederhana yang menerima kenyataan berdasarkan keterbatasan basis pengetahuan kita.
Berkaitan dengan makna dalam teks, Luxemburg, et.al. (1992:88) menyatakan bahwa kesatuan semantik yang dituntut sebuah teks ialah tema global yang melingkupi semua unsur. Dengan kata lain, tema atau perbuatan berfungsi sebagai ikhtisar teks atau perumusan simboliknya.[5]
Dan akhirnya kita membaca ketegangan terus-menerus itu, di mana pun: bahwa yang sering terpinggirkan oleh teks adalah ambiguitas dunia real, dunia pengalaman nyata, dunia yang diam-diam selalu lebih kaya; sebaliknya yang kerap tersisihkan dari kebanyakan manusia, di banyak bidang, adalah laku menulis—mentransformasi tindakan-tindakan, pengalaman-pengalaman yang dianggap berharga ke dalam teks, sehingga ia dapat dimaknai, dikaji, dikembangkan, baik secara personal maupun oleh publik luas, hingga oleh generasi berikutnya.
Mengenai perilaku yang merupakan perbuatan, tindakan dan perkataan seseorang yang sifatnya dapat diamati, digambarkan dan dicatat oleh orang lain ataupun orang yang melakukannya. Perilaku mempunyai beberapa dimensi:
·      Fisik; dapat diamati, digambarkan dan dicatat baik frekuensi, durasi dan intensitasnya.
·      Ruang; suatu perilaku mempunyai dampak kepada lingkungan (fisik maupun sosial) dimana perilaku itu  terjadi.
·      Waktu; suatu perilaku mempunyai  kaitan dengan masa lampau maupun masa yang akan dating.
Refleksi mengenai istilah wacana, menurut Van Dijk wacana hendaknya dipahami sebagai tindakan dengan cara memandang wacana umum sebagai teks dalam konteks. Ada juga yang berpendapat bahwa wacana berfungsi sebagai bentuk praktik sosial.


[1] Beni Ahmad Saebani. Pengantar Antropologi (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012). Hal 212
[2] Ibid. Beni Ahmad Saebani. Pengantar Antropologi. Hal 97
[3] Endang saifudin Anshari. Ilmu Filsafat dan Agama. (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1979). Hal 33
[4]Wildan Nugraha, bergiat di Komunitas Titikluang & FLP Bandung. (Seputar Indonesia, 6 Februari 2011; Sabili No. 16 Th. XVIII, April 2011). Di unduh pada tanggal 27 April 2014