A. Pendahuluan
Peradaban manusia saat ini adalah penggambaran bukti
jejak kehidupan dimasa lalu sejak awal munculnya peradaban hingga masa kini. Dalam sejarah perkembangan manusia tak
terdapat seorangpun yang hidup menyendiri atau terpisah dari kelompok manusia
lainnya, kecuali dalam keadaan terpaksa dan itu pun hanyalah untuk sementara
waktu. Manusia sebagai individu (perseorangan) mempunyai kehidupan jiwa
yang menyendiri, namun manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat dipisahkan
dari masyarakat. Manusia lahir, hidup berkembang dan meninggal dunia di dalam
masyarakat.
Manusia
selaku aktor penting dalam kehidupan
tentu senantiasa bergerak dan bertindak. Bahkan dalam hal ini diam pun
adalah sebuah tindakan, tindakan berdiam diri. Tapi, tidak semua tindakan
bersisa atau mengesankan. Dalam perspektif tertentu, sesuatu sikap, tindakan,
perilaku menjadi bermakna atau bernilai ketika ia dibicarakan, diartikulasikan,
diwacanakan.
Demikian sejarah telah membuktikan Manusia
sebagai peran utama (objek) merupakan satu-satunya makhluk yang berkemampuan
mengendalikan kehidupannya, membawa serta basic drives (yang mengendalikana)[1]
yang penting ada pada manusia.[2]
Sekaligus merupakan kajian bagi dirinya sendiri sebagai refleksi dirinya dimasa
lalu.
B. Perilaku Manusia sebagai Teks
Sebagaimana yang telah dijelaskan tadi diatas bahwa Manusia selaku aktor penting dalam kehidupan tentu senantiasa bergerak dan bertindak. Dan segala sikap, tindakan, perilaku manusia menjadi bermakna
atau bernilai ketika ia dibicarakan, diartikulasikan, diwacanakan. Dua orang yang
bertemu secara sepintas tanpa berkomunikasi, mengobrol, kemudian mereka segera
berpisah, tidak serta merta dapat saling memaknai dengan baik, sebab tidak ada
pengartikulasian dan pewacanaan yang intens, tidak ada upaya peleburan dua
khazanah maknawi masing-masing pihak.
Lewat penalaran tersebut, lebih jauh kita pun melihat
bahwa tindakan dari masa lalu dapat bermakna ketika ia diwacanakan, dalam
artian ditekskan, dituliskan, dibekukan menjadi teks. Sebuah tindakan,
peristiwa, pengalaman, akan bermakna lebih panjang ketika ia ditransformasikan
ke dalam bentuk teks, didokumentasikan secara tertulis; misalnya, menjadi sebuah
autobiografi, biografi, catatan perjalanan, dan lain sebagainya. Dan saat
sebuah teks dibaca, saat itulah terjadi pengartikulasian, pewacanaan,
perjumpaan dan peleburan antara khazanah maknawi teks dan khazanah maknawi
pembacanya. Sebuah perjumpaan yang melampaui ruang dan waktu. Sebuah perjumpaan
yang memungkinkan melahirkan makna baru.
Teks, oleh
karena itu memiliki posisi yang penting dalam
paradigma tindakan: teks
menjadi sampel pemberian makna pada tindakan. Dan teks sendiri dimungkinkan kemunculannya
oleh interaksi, tafsir, serta transformasi makna. Dalam artian teks tidak
mengada dengan tiba-tiba atau tanpa disiplin logika teruji. Pada tingkat
personal maupun pada tingkat yang lebih luas, teks pun menjadi penting bagi
manusia dalam upayanya memahami realitas diri, lingkungan, kebudayaan,
kehidupan, dan seterusnya.
Begitu pula teks muncul dari sebab masalah-masalah hidup
manusia itu sendiri. Hidup adalah aktivitas dan segala aktivitas tersebut
membawa masalah-masalah tertentu.[3]
Masalah-masalah kehidupan manusia ini kemudian menjadi sumber munculnya topik
pewacanaan dari sikap, tindakan dan perilaku manusia. Yang jika di aktualkan
dalam bentuk pengalaman bahkan temuan manusia itu sendiri, kini yang kita sebut
sebagai pengetahuan.
Dalam
pandangan tersebut, seorang individu yang memiliki dokumentasi tertulis,
catatan harian misalnya, dianggap memiliki kemungkinan lebih baik untuk
terus-menerus merumuskan dirinya. Teks, dalam hal ini, menjadi representasi
keakuan; sesuatu yang sangat mungkin selalu menjadi, mengalami berbagai perubahan dan perkembangan.
Oleh karena itu, tatkala seseorang membaca teks yang diproduksinya pada masa
lalu, ia sedang melakukan nostalgia terhadap dirinya sendiri. Dan nostalgia itu bisa jadi menghasilkan makna
yang baru, bahkan tak terduga. Ini pada tataran personal.
Pada
tataran kebudayaan, hal serupa pun berlaku. Kebudayaan Barat memiliki
dokumentasi teks tertulis yang kaya. Keberadaan teks-teks dokumentatif, argumentatif, eksploratif,
diskursif, memungkinkan terus dilakukannya kajian atas peristiwa, tindakan, pun
atas berbagai teori yang telah dianggap
mapan. Maka ranah keilmuan, dalam tradisi Barat dewasa ini, menjadi ranah yang
sangat dinamis.
Kebudayaan Timur, tentu, tidak kalah kaya akan makna,
nilai, falsafah, kebijaksanaan—bahkan bisa jadi lebih kaya. Namun, dalam soal
falsafah misalnya, nilai-nilai atau makna-makna yang kaya dan mendalam itu, di
negeri kita misalnya, bisa jadi masih banyak terkubur dalam berbagai artefak
non-teks: tembang-tembang, mitologi, tari-tarian, dll. Dalam bidang sains, kita rasanya
masih merasa gagap merumuskan, misalnya, teknologi bagaimanakah proses para leluhur kita saat membangun candi-candi megah di
Nusantara. Begitu pun segala macam kearifan dan pengetahuan lokal seolah lebih banyak
berhenti menjadi eksotisme saja.
Demikianlah
teks terlihat sangat ampuh sebagai kendaraan manusia dalam memaknai dan
memahami realitas. Tetapi
pandangan ini bukan berarti sesuatu yang final, yang berlaku universal secara
mutlak. Rasionalisme atau akal budi, pandangan yang cenderung menempatkan teks
sebagai sesuatu yang demikian sentral itu, ternyata tidak pernah secara
sempurna menangkap “kenyataan”. Sebab bagaimana pun teks adalah sebuah narasi dan sebuah konstruksi.
Di dalam narasi selalu ada konfigurasi, rekayasa,
pembatasan dan Realitas, dengan demikian, akan selalu tereduksi, terluput
sebagian, bagaimana pun canggihnya akal-akalan teoretis abstrak tentang
konsep-konsep universal. Menurut Bambang Sugiharto, akal budi tidak penah memadai
di depan “kenyataan murni”.[4]
Akan tetapi, prinsip tentang akal budi yang tidak pernah
memadai itu kata Sugiharto, sama sekali tidak hendak mengatakan bahwa
rasionalitas harus disingkirkan. Persoalannya hanyalah bahwa diperlukan
kewaspadaan terhadap pengagungan rasionalitas yang berlebihan dan terutama pada
kecenderungan kuat, yang sering tidak disadari, untuk menyamakan rasionalitas
dengan keilmiahan; bahwa seakan yang rasional adalah yang ilmiah saja. Dalam
kenyataan hidup sehari-hari, sering sangat jelas juga bahwa memaksakan sikap
ilmiah terus-menerus terhadap segala hal justru lebih merupakan takhayul
(takhayul ilmiah) ketimbang sikap sederhana yang menerima kenyataan berdasarkan
keterbatasan basis pengetahuan kita.
Berkaitan dengan makna dalam teks,
Luxemburg, et.al. (1992:88)
menyatakan bahwa kesatuan semantik yang dituntut sebuah teks
ialah tema global
yang melingkupi semua unsur. Dengan kata lain, tema atau perbuatan berfungsi
sebagai ikhtisar teks atau perumusan simboliknya.[5]
Dan akhirnya kita membaca ketegangan terus-menerus itu,
di mana pun: bahwa yang sering terpinggirkan oleh teks adalah ambiguitas dunia
real, dunia pengalaman nyata, dunia yang diam-diam selalu lebih kaya;
sebaliknya yang kerap tersisihkan dari kebanyakan manusia, di banyak bidang,
adalah laku menulis—mentransformasi tindakan-tindakan, pengalaman-pengalaman
yang dianggap berharga ke dalam teks, sehingga ia dapat dimaknai, dikaji,
dikembangkan, baik secara personal maupun oleh publik luas, hingga oleh
generasi berikutnya.
Mengenai perilaku yang merupakan perbuatan,
tindakan dan perkataan seseorang yang sifatnya dapat diamati, digambarkan dan
dicatat oleh orang lain ataupun orang yang melakukannya. Perilaku mempunyai
beberapa dimensi:
· Fisik; dapat diamati, digambarkan dan dicatat baik
frekuensi, durasi dan intensitasnya.
· Ruang; suatu perilaku
mempunyai dampak kepada lingkungan (fisik maupun sosial) dimana perilaku
itu terjadi.
· Waktu; suatu perilaku
mempunyai kaitan dengan masa lampau maupun masa yang akan dating.
Refleksi mengenai istilah wacana,
menurut Van Dijk wacana hendaknya dipahami sebagai
tindakan dengan cara memandang wacana umum sebagai teks dalam konteks. Ada juga
yang berpendapat bahwa wacana berfungsi sebagai bentuk praktik sosial.
[4]Wildan Nugraha, bergiat di Komunitas Titikluang
& FLP Bandung. (Seputar
Indonesia, 6 Februari 2011; Sabili No.
16 Th. XVIII, April 2011). Di unduh pada tanggal 27 April 2014
[5]http://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/pesona-puisi/pengertian-teks-dalam-sastra/. Di unduh pada tanggal 25 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar