GEORG WILHELM FRIEDRICH HEGEL |
PENDAHULUAN
Berbagai
corak pemikiran para tokoh selalu mempunyai ciri khas masing-masing yang
ditonjolkan, sebagaimana yang telah terjadi pula pada para tokoh terdahulu.
Bagaimana tokoh-tokoh pada era yunani klasik memandang bahwa hal yang pertama
untuk manusia ketahui adalah sumber alam (sumber dari kehidupan), atau yang
kita sebut dengan kosmologis, kemudian berkembang dan terus berkembang hingga
era modern ini.
Objek
dari pada kajian filsafat tidak terbatas dalam bidang-bidang tertentu. Ciri
yang khas dari filsafat adalah berfikir, secara radikal, logis, universal dan
sistematis. Berarti berfikir tidak terbatas, tidak khusus yang hanya terbatas
pada bagian-bagian tertentu, tetapi mencakup permasalah secara holistik.[1] Sebagaimana
yang kita ketahui objek yang dikaji dapat masuk dalam kerangka filosofis,
seperti filsafat manusia, filsafat pendidikan dan lain sebagainya. Begitu pula
dengan sejarah dalam kerangka filosofis adalah sejarah dalam pengertian
filsafat sejarah. Namun sama halnya dengan kajian filsafat lainnya, para
filosof pun memperdebatkan bagaimana sejarah dalam kerangka filosofis ini.
Filsafat sejarah adalah cabang dari filsafat yang mempelajari tentang
prinsip-prinsip mendasar (hakekat) sejarah sejauh dapat ditangkap oleh akal dan
dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah, artinya bersifat rasional-ilmiah.
Filsafat sejarah mempelajari prinsip-prinsip dasar keilmuan sejarah. Filsafat
sejarah membicarakan “ada” sebagai sejarah. Pertanyaan yang dapat dikemukakan
dalam filsafat sejarah adalah struktur mendasar atau esensi dasar apa yang
menyebabkan sejarah (masa lampau) itu menjadi ada atau hal-hal mendasar apa
yang menyebabkan sesuatu itu terjadi atau berubah. Filsafat sejarah membicarakan
hakekat sejarah atau esensi dasar sejarah.
Menurut Al
Khudairi, filsafat sejarah adalah tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa
historis secara filosofis untuk mengetahui faktor-faktor essensial yang
mengendalikan perjalanan peristiwa-peristiwa istoris itu, untuk kemudian
mengikhtisarkan hukum-hukum umum yang tetap, yang mengarahkan perkembangan
berbagai bangsa dan negara dalam berbagai masa dan generasi. Sementara itu, F. Laurent mengatakan bahwa
sejarah tidak mungkin hanya merupakan seperangkat rangkaian peristiwa yang
tanpa tujuan atau makna. Dimana sejarah tunduk sepenuhnya pada kehendak Tuhan
seperti peristiwa alam yang tunduk pada hukum hukum yang mengendalikannya.
Namun
bagi Hegel, filsafat sejarah sama dengan sejarah filsafat, karena filsafat
dengan jelas menjadi sadar akan identitas akal, der Absolute Geist.[2] Bahkan
dikatakan filsafat sejarah merupakan jantung dan pusat filsafat Hegel.[3]
Bagaimana Hegel dapat menggagas demikian, sedangkan yang kita tahu minat dari
pada Hegel itu selalu berkecimpung mengenai ide metafisis atau aliran yang
dikenalkannya tentang idealisme. Rupanya perthatian tidak selalu ditujukan terhadap
filsafat saja, akan tetapi pula terhadap sejarah dalam kerangka filosofis, yang
disebut tadi filsafat sejarah. Ibnu Khaldun, Vico, Immanuel Kant, Herder, Agust
Comte, Toynbee, Spengler pun memberi kesaksian atas semakin meluasnya perhatian
tersebut. Kiranya mereka pun tertarik dan mengajukan permasalahan dan beberapa
pertanyaan mendasar mengenai sejarah.
Filsafat
sejarah itu sendiri berpangkal dari keinginan untuk mendapatkan jawaban atas
dua soal esensial, mengapa Sejarah terjadi dan bagaimana terjadinya.[4]
Demikian, berikut akan dijelaskan bagaimana Sejarah ini dipandang dalam
kerangka filosofis Hegel dan Spengler. Dengan masing-masing corak pemikirannya
yang sama sekali beda diantara keduanya. Hegel dengan Idea metafisnya dan
Spengler dengan hukum-hukum sejarah.
FILSAFAT SEJARAH HEGEL
(1770-1831)
A. Biografi
GEORG WILHELM FRIEDRICH HEGEL lahir pada tanggal
27 Agustus tahun 1770 di Stuttgart,
Wurttemberg dan meninggal pada tanggal 14 November 1831,[5]
Keluarganya berasal dari kelas menengah, ayahnya seorang pegawai negeri bernama
George Ludwig Hegel dan ibunya Maria Magdalena. Hidup Hegel dapat dikatakan
biasa-biasa saja, pada waktu Hegel kecilpun, ia tergolong anak yang telmi. Namun
Hegel gemar membaca
literatur, surat kabar, esai filsafat, dan tulisan-tulisan tentang berbagai
topik lainnya. Hal ini sebagian disebabkan karena ibunya yang luar biasa
progresif, aktif mengasuh perkembangan intelektual anaknya.
Dan pada tahun 1788 Hegel pun menjadi mahasiswa
teologi di Universitas Tubingen,
kemudian menjabat menjadi guru besar dalam ilmu filsafat di Heidelberg dan
bergelarkan professor di Berlin hingga
menjelang wafatnya.
Pemikiran-pemikiran Hegel
dituangkan dalam bentuk karya-karyanya, terutama karyanya The Phenomenology
of the Spirit (1807), The Science of Logic (1812-1816) , The Philosophy of Right
(1821) dan Ceramah pada
Filsafat Sejarah (disampaikan pada tahun-tahun terakhir hidupnya)
atau Journal of Phylosophy yang disusun bersama Scheilling. Gagasan utamanya mengenai realitas yang dimengerti
secara rasional
atau ideal, dan konsep realitas yang berkembang
serta mengalami proses dinamis. Demikianlah
Hegel sangat memperhatikan peran Rasio dalam pemikirannya, bukan hanya sekedar
rasio saja yang dimaksud, akan tetapi Rasio pada Subjek Absolut, karena prinsip
idealistisnya bahwa “semuanya yang real bersifat rasional dan semua yang
rasional bersifat real”.[6]
Artinya Hegel bermaksudkan bahwa luasnya rasio sama luasnya dengan realitas,
dimana seluruh realitas merupakan proses pemikiran atau yang dinamakan Ide.
B.
Corak Pemikiran Sejarah
Hegel adalah seorang
filsuf dalam alirannya idealisme yang sangat berpengaruh luas terhadap
pemikiran para filsuf setelahnya, seperti Karl Max, Kierkegaard, Schopenhauer,
Nietzsche dan lain sebagainya. Karenanya dikatakan bahwa filsafat Hegel adalah
filsafat yang paling rumit dan sukar diantara filsafat yang dibangun filsuf
lainnya.[7]
Bahkan dikatakan pula bahwa filsafat hegel yang pertama kali memperkenalkan
gagasan mengenai sejarah dan hal yang konkret terjadi akan masalah-masalah
abadi dalam filsafat.[8]
Sebenarnya
pola dasar pemikiran hegel itu merujuk pada pemikiran plato mengenai idealisme,
terkhusus idealisme objektif yang digagas oleh plato. Dimana plato menamakan
realitas yang fundamental bernama ide. Plato percaya bahwa di belakang alam yang
senantiasa dinamis ini atau alam empiris, alam fenomena yang kita lihat atau
kita rasakan, terdapat dalam idea, yaitu alam essensi atau ide.
Dalam
pandangan idealisme objektifnya ini, plato membagi dunia dalam dua bagian,
yaitu pertama, dunia persepsi atau dunia
penglihatan, suara dan benda-benda individual. Dunia seperti itu, yakni yang
konkrit, temporal dan rusak, dikatakannya bukanlah dunia yang sesungguhnya,
melainkan dunia penampakkan saja. Kedua, terdapat
alam di atas alam benda, yaitu alam konsep, ide, universal atau essensi yang
abadi.[9]
Konsep manusia mengandung realitas yang lebih besar dari pada yang dimiliki
orang seorang. Dikenalnya benda-benda individual karena mengetahui
konsep-konsep dari contoh-contoh yang abadi.
Demikian
menurut plato Ide-ide adalah contoh yang transenden dan asli, sedangkan
persepsi dan benda-benda individual adalah copy atau bayangan dari ide-ide
tersebut. Ide-ide yang tidak berubah atau essensi yang sifatnya riil, diketahui
manusia dengan perantaraan akal. Jiwa manusia adalah essensi immaterial,
dikurung dalam badan manusia untuk sementara waktu. Dunia materi berubah, jika
dipengaruhi rasa indra, hanya akan memberikan opini dan bukan pengetahuan.
Kelompok
idealis obyektif modern berpendapat bahwa semua bagian alam tercakup dalam
suatu tertib yang meliputi segala sesuatu, dan mereka menghubungkan kesatuan
tersebut kepada ide dan maksud-maksud dari suatu akal yang mutlak (absolute
mind). Hegel memaparkan satu dari sistem-sistem yang terbaik dalam idealisme
monistik atau mutlak(absolute). Pikiran adalah essensi dari alam dan alam
adalah keseluruhan jiwa yang diobyektifkan. Alam adalah Akal yang Mutlak (absolute
reason) yang mengekpresikan dirinya dalam bentuk luar.
Begitu
pula Sejarah adalah cara zat Mutlak (Roh absolute)[10]
yang menjelma dalam waktu dan pengalaman manusia. Oleh karena alam itu satu,
dan bersifat mempunyai maksud serta berpikir, maka alam itu harus berwatak
pikiran. Hegel membentangkan suatu konsepsi yang dinamik tentang jiwa dan
lingkungan; jiwa dan lingkungan itu adalah begitu berkaitan dan merupakan
kesatuan sehingga tidak dapat mengadakan pembedaan yang jelas antara keduanya.
Jiwa mengalami realitas setiap waktu.
C.
Idea Sejarah Hegel
Menurut
Hegel, di balik realitas yang dimaksud di dunia ini, ada yang namanya Rasio,
Mind, Spirit (Roh/Geist). Roh mengobjektivasi dirinya dalam realitas yaitu Sejarah.
Roh itu dengan demikian juga mengobjektivasi dirinya melalui manusia. Dengan
artian, roh mewujudkan dirinya dalam realitas atau kenyataan Sejarah. Roh
memanifestasikan dirinya dalam kenyataan sejarah yang objektif.
Bagi
Hegel, semua realitas pada dasarnya adalah idea. Bahwa seluruh sejarah adalah
perkembangan manifestasi dari roh. Perkembangan itu semakin bersifat rohaniah,
abstrak[11]
sampai kepada pengetahuan yang mutlak. Semakin abstrak semakin mewujudkan roh.
Itulah kenapa dikatakan oleh Hegel bahwa roh itu tidak statis melainkan
dinamis, berkembang. Intinya menurut pandangan Hegel adalah, perkembangan
sejarah atau pengobjektivasian diri dari roh itu berjalan menurut dialektika.
Dialektika
yang dimaksud Hegel adalah mendamaikan hal-hal yang beralawanan. Dalam hal ini,
dialektika berlangsung dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah Tesa, tahap kedua
Antitesa yang merupakan lawan dari tesa. Dan tahap ketiga yaitu Sintesa, yang
mendamaikan tesa dan antitesa.
Sebagaiman
yang telah disinggung diatas bahwa bagi Hegel, filsafat
sejarah tidak lain adalah sejarah filsafat. Dimana pada awal sejarah filsafat
muncul dan dikenalnya Thales, yang datang dengan pemikiran dasarnya mengenai
sumber atau bahan dasar bumi adalah air, bagitu pun tokoh-tokoh lain muncul
sebagai kontra dari pemikiran dasar yang dikemukakan oleh thales. Sedemikian
rupa kontradiksi tersebut terus menerus berkembang sehingga lahirlah pemikiran
yang baru dan memisahkan fase jaman tersebut, yang disebut jaman klasik, yang
pertama ditandai oleh kehadirannya Sokrates.
Diceritakan
hingga saat ini pula, dari pemikiran dasar itu masih berkembang. Maka melalui
tiga tahapan tadi, pemikiran berkembang sampai pada tahapan mutlak, yang terus
menerus bisa dipikirkan tanpa menemukan pertentangan apa pun didalamnya.[12]
Kadang, pemikiran Hegel bisa dikatakan pula sebagai kombinasi
pertentangan-pertentangan. Sebab kombinasi pula masih mengandung hal-hal aktif
dan positif dan mendatangkan hasil yang berguna.
Dalam
pemikiran Hegel, perkembangan itulah tidak lain adalah hasil pertentangan
hal-hal yang berlawanan. Alasannya setiap pertentangan atau setiap kenyataan
yang mengandung kontradiksi intern merupakan pendorong timbulnya kemajuan,
kemudian dengan sendirinya meniadakan pertentangan-pertentangan tersebut, untuk
kemudian mengubahnya menjadi lain.
Demikianlah
menurut Hegel, bahwa setiap fase sejarah social budaya merupakan kesatuan
tersendiri. Corak politik, perekonomian, etika, kesenian, pemikiran, agama dan
lainnya, merupakan aspek dari keseluruhan kehidupan (Living Totality)[13] yang
berkoeksistensi dan dinamis.
Demikian
pula paham idealisme Hegel, merupakan gagasan sejarah yang dipaparkan tidak
lain adalah gagasan utamanya mengenai sistem metafisika yang rumit, besar dan
sukar. Karenanya Hegel menguraikan filsafatnya, menggunakan metode dialektika
menjadi basis seluruh pemikiran filsafatnya.[14]
Menurutnya semua sistem filsafat haruslah dilihat sebagai langkah-langkah maju
perkembangan Roh Mutlak, yang terus menerus berusaha untuk mengerti dan menemukan
dirinya dalam fase sejarah.[15]
Adapun
bagi Hegel, akhir dari sejarah adalah tercapainya tujuan yaitu kebebasan
(freedom). Bahwa the end of history itu terjadi ketika perjalanan Roh itu
terealisasi dalam (idea) kebebasan. Dengan kata lain, roh itu mengobjektivasi
dirinya dalam kebebasan. Jadi, kebebasan adalah (dilihat sebagai) akhir dari
sejarah. Dengan perkataan lain, tercapainya suatu kebebasan yang tentunya
dirindukan oleh semua orang dilihat sebagai akhir dari sejarah itu.[16]
Demikian
dapat disimpulkan Sejarah merupakan gerak objektif dalam realitas. Dengan kata
lain, Hegel memahami sejarah sebagai gerak ke arah rasionalitas dan kebebasan
yang semakin besar. Roh semesta berada di belakang sejarah, ia mendapat
objektifitas di dalamnya. Atau secara sederhana supaya mudah dimengerti bahwa
menurut Hegel, bahwa gerak sejarah itu adalah linier, terus menerus bergerak
hingga mencapai tujuan yang dimaskud kebebasan “yang absolut”.[17]
Begitulah
Hegel mempropagandakan, bahwa gerak-maju pemikiran bukanlah gerak yang
serampangan atau gerak aksidental yang ditentukan oleh sebab-sebab luar.
Sebaliknya gerak itu bersifat beraturan didorong oleh suatu Kekuatan Penggerak.
Menurutnya, tujuan pertentangan dan perpaduan tesa dan antitesa menjadi tesa
itu adalah demi berkembangnya Roh Alam (Tuhan) yang memang senantiasa berupaya
mencapai tujuannya, yaitu mewujudkan diri (self realization)
FILSAFAT SEJARAH SPENGLER (1880-1936)
A.
Biografi
Oswald
Spengler lahir di Blankenburg (Harz) di Jerman Tengah pada tahun 1880, anak
tertua dari empat anak, dan satu-satunya anak laki-laki. Ayahnya, yang semula
teknisi pertambangan dan berasal dari garis panjang mineworkers, adalah seorang
pejabat di pos Jerman birokrasi, dan ia memberikan keluarganya dengan sederhana
namun nyaman di rumah kelas menengah.
Ketika
ia berusia sepuluh tahun keluarganya pindah ke kota universitas Halle. Spengler
menerima pendidikan Gymnasium klasik, mempelajari bahasa Yunani, Latin,
matematika dan ilmu alam. Disini juga ia mengembangkan afinitas kuat untuk seni
– khususnya puisi, drama, dan musik.
Spengler
pada umur 21 tahun. Spengler mempelajari bidang studi budaya klasik,
matematika, dan ilmu-ilmu fisik. Pendidikan universitasnya sebagian besar
dibiayai oleh sebuah warisan dari almarhum bibi. Ia gagal dalam ujian
pertamanya, tetapi ia lulus di ujian kedua pada tahun 1904 dan kemudian ia
menulis disertasi sekunder yang diperlukan untuk memenuhi syarat sebagai guru
sekolah tinggi. Kemudian ia pindah ke Düsseldorf dan akhirnya Se Hamburg. Dia
mengajar matematika, fisika, sejarah dan sastra jerman.
Dia
menetap di Munich, di sana untuk menjalani kehidupan sarjana yang independen /
filsuf. Dia mulai menulis sebuah buku pengamatan politik. Awalnya untuk menjadi berjudul Konservatif
dan Liberal, itu direncanakan sebagai sebuah eksposisi dan penjelasan tentang
tren saat ini di Eropa – yang mempercepat perlombaan senjata, Entente
“pengepungan” di Jerman, sebuah suksesi krisis internasional, meningkatkan
polaritas dari bangsa-bangsa – dan mana mereka memimpin. Namun pada akhir 1911
ia tiba-tiba tersentak oleh gagasan bahwa peristiwa hari hanya dapat
ditafsirkan dalam “global” dan “total-budaya” istilah. Dia melihat Eropa
sebagai berbaris pergi untuk bunuh diri, langkah pertama menuju kematian
terakhir budaya Eropa di dunia dan dalam sejarah.
Perang
Besar 1914-1918 hanya membenarkan dalam pikirannya keabsahan tesis yang sudah
dikembangkan. Pekerjaan yang direncanakannya terus meningkat dalam lingkup yang
jauh melampaui batas aslinya.
Pada tahun 1922 Spengler mengeluarkan edisi revisi jilid pertama yang
berisi koreksi kecil dan revisi, dan tahun setelah melihat penampilan jilid
kedua, dia kemudian puas dengan pekerjaan, dan semua tulisan-tulisan dan
pernyataan-pernyataan.
[1]
Holistik adalah keseluruhan
sebagai kesatuan yang lebih penting dari pada bagian-bagiannya.
[2] Lihat : “Theory of History”
dalam www.academia.edu (Diakses pada tanggal 5 April
2015 pukul 15.06).
[3] Penerjemah Cuk Ananta Wijaya. Filsafat Sejarah G.W.F Hegel.
(Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR. 2012). Hal V.
[4] Prof. Abdul Hamid Shiddiqi MA. Islam dan Filsafat Sejarah. Cet. 1. 1403
H / 1983 H. Hal 1.
[5] Lihat : “Biografi Hegel” dalam http://id.m.wikipedia.org/wiki/Georg_Wilhelm_Friedrich_Hegel. (Diakses pada tanggal 8 April
2015 pukul 11.24). Lihat juga: Dr. Juhaya S. Praja. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Suatu Pengantar. (Bandung:
Yayasan PIARA. 1997). Hal 85.
[6] Ibid. Dr. Juhaya S. Praja. Aliran-Aliran
Filsafat dan Etika, Suatu Pengantar.Hal 86
[7] Dr. Harun Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat II.
(Yogyakarta: Kanisius. 2011). Hal 98.
[10] Roh yang mempengaruhi Roh Subjek
dan Roh Objektif, namun tidak dipengaruhi keduanya. Karena itu, Roh Absolut
bergerak di dalam semua, mengembangkan diri dalam semua, dan mengatasi
semuanya. Lihat: Masykur Arif Rahman. Sejarah
Filsafat Barat. (Yogyakarta: IRCiSoD. 2013). Hal 303.
[11] Maksud Hegel dari “abstrak”
mempunyai arti yang berbeda, yang lazimnya istilah “abstrak” merujuk pada
sesuatu yang tidak dapat diindara, sedangkan istilah “konkret” merujuk pada
sesuatu yang dapat diindra. Namun, Hegel membalikkan yang “konkret” memiliki
arti abstrak (pemikiran), sementara yang “abstrak” memiliki arti konkret
(pengindraan).
[12]
Abdul Hamid Shiddiqi. Islam dan Filsafat Sejarah. (Cet.
Pertama 1983). Hal 54.
[13] Ibid. Hal 53.
[14] Op.Cit. Masykur Arif Rahman. Sejarah
Filsafat Barat. Hal 298.
[15] Op.Cit. Abdul Hamid Shiddiqi.
Hal 56.
[17] Loc.Cit. Masykur Arif Rahman. Sejarah
Filsafat Barat Hal. 302.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar