Kamis, 25 Juni 2015

Pemikiran Sejarah Hegel dan Spengler

GEORG WILHELM FRIEDRICH HEGEL

PENDAHULUAN
Berbagai corak pemikiran para tokoh selalu mempunyai ciri khas masing-masing yang ditonjolkan, sebagaimana yang telah terjadi pula pada para tokoh terdahulu. Bagaimana tokoh-tokoh pada era yunani klasik memandang bahwa hal yang pertama untuk manusia ketahui adalah sumber alam (sumber dari kehidupan), atau yang kita sebut dengan kosmologis, kemudian berkembang dan terus berkembang hingga era modern ini.
Objek dari pada kajian filsafat tidak terbatas dalam bidang-bidang tertentu. Ciri yang khas dari filsafat adalah berfikir, secara radikal, logis, universal dan sistematis. Berarti berfikir tidak terbatas, tidak khusus yang hanya terbatas pada bagian-bagian tertentu, tetapi mencakup permasalah secara holistik.[1] Sebagaimana yang kita ketahui objek yang dikaji dapat masuk dalam kerangka filosofis, seperti filsafat manusia, filsafat pendidikan dan lain sebagainya. Begitu pula dengan sejarah dalam kerangka filosofis adalah sejarah dalam pengertian filsafat sejarah. Namun sama halnya dengan kajian filsafat lainnya, para filosof pun memperdebatkan bagaimana sejarah dalam kerangka filosofis ini.
Filsafat sejarah adalah cabang dari filsafat yang mempelajari tentang prinsip-prinsip mendasar (hakekat) sejarah sejauh dapat ditangkap oleh akal dan dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah, artinya bersifat rasional-ilmiah. Filsafat sejarah mempelajari prinsip-prinsip dasar keilmuan sejarah. Filsafat sejarah membicarakan “ada” sebagai sejarah. Pertanyaan yang dapat dikemukakan dalam filsafat sejarah adalah struktur mendasar atau esensi dasar apa yang menyebabkan sejarah (masa lampau) itu menjadi ada atau hal-hal mendasar apa yang menyebabkan sesuatu itu terjadi atau berubah. Filsafat sejarah membicarakan hakekat sejarah atau esensi dasar sejarah.
Menurut Al Khudairi, filsafat sejarah adalah tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa historis secara filosofis untuk mengetahui faktor-faktor essensial yang mengendalikan perjalanan peristiwa-peristiwa istoris itu, untuk kemudian mengikhtisarkan hukum-hukum umum yang tetap, yang mengarahkan perkembangan berbagai bangsa dan negara dalam berbagai masa dan generasi. Sementara itu, F. Laurent mengatakan bahwa sejarah tidak mungkin hanya merupakan seperangkat rangkaian peristiwa yang tanpa tujuan atau makna. Dimana sejarah tunduk sepenuhnya pada kehendak Tuhan seperti peristiwa alam yang tunduk pada hukum hukum yang mengendalikannya.
Namun bagi Hegel, filsafat sejarah sama dengan sejarah filsafat, karena filsafat dengan jelas menjadi sadar akan identitas akal, der Absolute Geist.[2] Bahkan dikatakan filsafat sejarah merupakan jantung dan pusat filsafat Hegel.[3] Bagaimana Hegel dapat menggagas demikian, sedangkan yang kita tahu minat dari pada Hegel itu selalu berkecimpung mengenai ide metafisis atau aliran yang dikenalkannya tentang idealisme. Rupanya perthatian tidak selalu ditujukan terhadap filsafat saja, akan tetapi pula terhadap sejarah dalam kerangka filosofis, yang disebut tadi filsafat sejarah. Ibnu Khaldun, Vico, Immanuel Kant, Herder, Agust Comte, Toynbee, Spengler pun memberi kesaksian atas semakin meluasnya perhatian tersebut. Kiranya mereka pun tertarik dan mengajukan permasalahan dan beberapa pertanyaan mendasar mengenai sejarah.
Filsafat sejarah itu sendiri berpangkal dari keinginan untuk mendapatkan jawaban atas dua soal esensial, mengapa Sejarah terjadi dan bagaimana terjadinya.[4] Demikian, berikut akan dijelaskan bagaimana Sejarah ini dipandang dalam kerangka filosofis Hegel dan Spengler. Dengan masing-masing corak pemikirannya yang sama sekali beda diantara keduanya. Hegel dengan Idea metafisnya dan Spengler dengan hukum-hukum sejarah.

FILSAFAT SEJARAH HEGEL (1770-1831)
A.  Biografi
GEORG WILHELM FRIEDRICH HEGEL lahir pada tanggal 27 Agustus tahun 1770 di Stuttgart, Wurttemberg dan meninggal pada tanggal 14 November 1831,[5] Keluarganya berasal dari kelas menengah, ayahnya seorang pegawai negeri bernama George Ludwig Hegel dan ibunya Maria Magdalena. Hidup Hegel dapat dikatakan biasa-biasa saja, pada waktu Hegel kecilpun, ia tergolong anak yang telmi. Namun Hegel gemar membaca literatur, surat kabar, esai filsafat, dan tulisan-tulisan tentang berbagai topik lainnya. Hal ini sebagian disebabkan karena ibunya yang luar biasa progresif, aktif mengasuh perkembangan intelektual anaknya. Dan pada tahun 1788 Hegel pun menjadi mahasiswa  teologi di Universitas Tubingen, kemudian menjabat menjadi guru besar dalam ilmu filsafat di Heidelberg dan bergelarkan  professor di Berlin hingga menjelang wafatnya.
Pemikiran-pemikiran Hegel dituangkan dalam bentuk karya-karyanya, terutama karyanya The Phenomenology of the Spirit (1807), The Science of Logic (1812-1816) , The Philosophy of Right  (1821) dan Ceramah pada Filsafat Sejarah (disampaikan pada tahun-tahun terakhir hidupnya) atau Journal of Phylosophy yang disusun bersama Scheilling. Gagasan utamanya mengenai realitas yang dimengerti secara rasional atau ideal, dan konsep realitas yang berkembang serta mengalami proses dinamis. Demikianlah Hegel sangat memperhatikan peran Rasio dalam pemikirannya, bukan hanya sekedar rasio saja yang dimaksud, akan tetapi Rasio pada Subjek Absolut, karena prinsip idealistisnya bahwa “semuanya yang real bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat real”.[6] Artinya Hegel bermaksudkan bahwa luasnya rasio sama luasnya dengan realitas, dimana seluruh realitas merupakan proses pemikiran atau yang dinamakan Ide.

B.  Corak Pemikiran Sejarah
Hegel adalah seorang filsuf dalam alirannya idealisme yang sangat berpengaruh luas terhadap pemikiran para filsuf setelahnya, seperti Karl Max, Kierkegaard, Schopenhauer, Nietzsche dan lain sebagainya. Karenanya dikatakan bahwa filsafat Hegel adalah filsafat yang paling rumit dan sukar diantara filsafat yang dibangun filsuf lainnya.[7] Bahkan dikatakan pula bahwa filsafat hegel yang pertama kali memperkenalkan gagasan mengenai sejarah dan hal yang konkret terjadi akan masalah-masalah abadi dalam filsafat.[8]
Sebenarnya pola dasar pemikiran hegel itu merujuk pada pemikiran plato mengenai idealisme, terkhusus idealisme objektif yang digagas oleh plato. Dimana plato menamakan realitas yang fundamental bernama ide. Plato percaya bahwa di belakang alam yang senantiasa dinamis ini atau alam empiris, alam fenomena yang kita lihat atau kita rasakan, terdapat dalam idea, yaitu alam essensi atau ide.
Dalam pandangan idealisme objektifnya ini, plato membagi dunia dalam dua bagian, yaitu pertama, dunia persepsi atau dunia penglihatan, suara dan benda-benda individual. Dunia seperti itu, yakni yang konkrit, temporal dan rusak, dikatakannya bukanlah dunia yang sesungguhnya, melainkan dunia penampakkan saja. Kedua, terdapat alam di atas alam benda, yaitu alam konsep, ide, universal atau essensi yang abadi.[9] Konsep manusia mengandung realitas yang lebih besar dari pada yang dimiliki orang seorang. Dikenalnya benda-benda individual karena mengetahui konsep-konsep dari contoh-contoh yang abadi.

Demikian menurut plato Ide-ide adalah contoh yang transenden dan asli, sedangkan persepsi dan benda-benda individual adalah copy atau bayangan dari ide-ide tersebut. Ide-ide yang tidak berubah atau essensi yang sifatnya riil, diketahui manusia dengan perantaraan akal. Jiwa manusia adalah essensi immaterial, dikurung dalam badan manusia untuk sementara waktu. Dunia materi berubah, jika dipengaruhi rasa indra, hanya akan memberikan opini dan bukan pengetahuan.
Kelompok idealis obyektif modern berpendapat bahwa semua bagian alam tercakup dalam suatu tertib yang meliputi segala sesuatu, dan mereka menghubungkan kesatuan tersebut kepada ide dan maksud-maksud dari suatu akal yang mutlak (absolute mind). Hegel memaparkan satu dari sistem-sistem yang terbaik dalam idealisme monistik atau mutlak(absolute). Pikiran adalah essensi dari alam dan alam adalah keseluruhan jiwa yang diobyektifkan. Alam adalah Akal yang Mutlak (absolute reason) yang mengekpresikan dirinya dalam bentuk luar.
Begitu pula Sejarah adalah cara zat Mutlak (Roh absolute)[10] yang menjelma dalam waktu dan pengalaman manusia. Oleh karena alam itu satu, dan bersifat mempunyai maksud serta berpikir, maka alam itu harus berwatak pikiran. Hegel membentangkan suatu konsepsi yang dinamik tentang jiwa dan lingkungan; jiwa dan lingkungan itu adalah begitu berkaitan dan merupakan kesatuan sehingga tidak dapat mengadakan pembedaan yang jelas antara keduanya. Jiwa mengalami realitas setiap waktu.




C.  Idea Sejarah Hegel
Menurut Hegel, di balik realitas yang dimaksud di dunia ini, ada yang namanya Rasio, Mind, Spirit (Roh/Geist). Roh mengobjektivasi dirinya dalam realitas yaitu Sejarah. Roh itu dengan demikian juga mengobjektivasi dirinya melalui manusia. Dengan artian, roh mewujudkan dirinya dalam realitas atau kenyataan Sejarah. Roh memanifestasikan dirinya dalam kenyataan sejarah yang objektif.
Bagi Hegel, semua realitas pada dasarnya adalah idea. Bahwa seluruh sejarah adalah perkembangan manifestasi dari roh. Perkembangan itu semakin bersifat rohaniah, abstrak[11] sampai kepada pengetahuan yang mutlak. Semakin abstrak semakin mewujudkan roh. Itulah kenapa dikatakan oleh Hegel bahwa roh itu tidak statis melainkan dinamis, berkembang. Intinya menurut pandangan Hegel adalah, perkembangan sejarah atau pengobjektivasian diri dari roh itu berjalan menurut dialektika.
Dialektika yang dimaksud Hegel adalah mendamaikan hal-hal yang beralawanan. Dalam hal ini, dialektika berlangsung dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah Tesa, tahap kedua Antitesa yang merupakan lawan dari tesa. Dan tahap ketiga yaitu Sintesa, yang mendamaikan tesa dan antitesa.
Sebagaiman yang telah disinggung diatas bahwa bagi Hegel, filsafat sejarah tidak lain adalah sejarah filsafat. Dimana pada awal sejarah filsafat muncul dan dikenalnya Thales, yang datang dengan pemikiran dasarnya mengenai sumber atau bahan dasar bumi adalah air, bagitu pun tokoh-tokoh lain muncul sebagai kontra dari pemikiran dasar yang dikemukakan oleh thales. Sedemikian rupa kontradiksi tersebut terus menerus berkembang sehingga lahirlah pemikiran yang baru dan memisahkan fase jaman tersebut, yang disebut jaman klasik, yang pertama ditandai oleh kehadirannya Sokrates.
Diceritakan hingga saat ini pula, dari pemikiran dasar itu masih berkembang. Maka melalui tiga tahapan tadi, pemikiran berkembang sampai pada tahapan mutlak, yang terus menerus bisa dipikirkan tanpa menemukan pertentangan apa pun didalamnya.[12] Kadang, pemikiran Hegel bisa dikatakan pula sebagai kombinasi pertentangan-pertentangan. Sebab kombinasi pula masih mengandung hal-hal aktif dan positif dan mendatangkan hasil yang berguna.
Dalam pemikiran Hegel, perkembangan itulah tidak lain adalah hasil pertentangan hal-hal yang berlawanan. Alasannya setiap pertentangan atau setiap kenyataan yang mengandung kontradiksi intern merupakan pendorong timbulnya kemajuan, kemudian dengan sendirinya meniadakan pertentangan-pertentangan tersebut, untuk kemudian mengubahnya menjadi lain.
Demikianlah menurut Hegel, bahwa setiap fase sejarah social budaya merupakan kesatuan tersendiri. Corak politik, perekonomian, etika, kesenian, pemikiran, agama dan lainnya, merupakan aspek dari keseluruhan kehidupan (Living Totality)[13] yang berkoeksistensi dan dinamis.
Demikian pula paham idealisme Hegel, merupakan gagasan sejarah yang dipaparkan tidak lain adalah gagasan utamanya mengenai sistem metafisika yang rumit, besar dan sukar. Karenanya Hegel menguraikan filsafatnya, menggunakan metode dialektika menjadi basis seluruh pemikiran filsafatnya.[14] Menurutnya semua sistem filsafat haruslah dilihat sebagai langkah-langkah maju perkembangan Roh Mutlak, yang terus menerus berusaha untuk mengerti dan menemukan dirinya dalam fase sejarah.[15]
Adapun bagi Hegel, akhir dari sejarah adalah tercapainya tujuan yaitu kebebasan (freedom). Bahwa the end of history itu terjadi ketika perjalanan Roh itu terealisasi dalam (idea) kebebasan. Dengan kata lain, roh itu mengobjektivasi dirinya dalam kebebasan. Jadi, kebebasan adalah (dilihat sebagai) akhir dari sejarah. Dengan perkataan lain, tercapainya suatu kebebasan yang tentunya dirindukan oleh semua orang dilihat sebagai akhir dari sejarah itu.[16]
Demikian dapat disimpulkan Sejarah merupakan gerak objektif dalam realitas. Dengan kata lain, Hegel memahami sejarah sebagai gerak ke arah rasionalitas dan kebebasan yang semakin besar. Roh semesta berada di belakang sejarah, ia mendapat objektifitas di dalamnya. Atau secara sederhana supaya mudah dimengerti bahwa menurut Hegel, bahwa gerak sejarah itu adalah linier, terus menerus bergerak hingga mencapai tujuan yang dimaskud kebebasan “yang absolut”.[17]
Begitulah Hegel mempropagandakan, bahwa gerak-maju pemikiran bukanlah gerak yang serampangan atau gerak aksidental yang ditentukan oleh sebab-sebab luar. Sebaliknya gerak itu bersifat beraturan didorong oleh suatu Kekuatan Penggerak. Menurutnya, tujuan pertentangan dan perpaduan tesa dan antitesa menjadi tesa itu adalah demi berkembangnya Roh Alam (Tuhan) yang memang senantiasa berupaya mencapai tujuannya, yaitu mewujudkan diri (self realization)













FILSAFAT SEJARAH SPENGLER (1880-1936)
A.  Biografi
Oswald Spengler lahir di Blankenburg (Harz) di Jerman Tengah pada tahun 1880, anak tertua dari empat anak, dan satu-satunya anak laki-laki. Ayahnya, yang semula teknisi pertambangan dan berasal dari garis panjang mineworkers, adalah seorang pejabat di pos Jerman birokrasi, dan ia memberikan keluarganya dengan sederhana namun nyaman di rumah kelas menengah.
Ketika ia berusia sepuluh tahun keluarganya pindah ke kota universitas Halle. Spengler menerima pendidikan Gymnasium klasik, mempelajari bahasa Yunani, Latin, matematika dan ilmu alam. Disini juga ia mengembangkan afinitas kuat untuk seni – khususnya puisi, drama, dan musik.
Spengler pada umur 21 tahun. Spengler mempelajari bidang studi budaya klasik, matematika, dan ilmu-ilmu fisik. Pendidikan universitasnya sebagian besar dibiayai oleh sebuah warisan dari almarhum bibi. Ia gagal dalam ujian pertamanya, tetapi ia lulus di ujian kedua pada tahun 1904 dan kemudian ia menulis disertasi sekunder yang diperlukan untuk memenuhi syarat sebagai guru sekolah tinggi. Kemudian ia pindah ke Düsseldorf dan akhirnya Se Hamburg. Dia mengajar matematika, fisika, sejarah dan sastra jerman.
Dia menetap di Munich, di sana untuk menjalani kehidupan sarjana yang independen / filsuf. Dia mulai menulis sebuah buku pengamatan politik.  Awalnya untuk menjadi berjudul Konservatif dan Liberal, itu direncanakan sebagai sebuah eksposisi dan penjelasan tentang tren saat ini di Eropa – yang mempercepat perlombaan senjata, Entente “pengepungan” di Jerman, sebuah suksesi krisis internasional, meningkatkan polaritas dari bangsa-bangsa – dan mana mereka memimpin. Namun pada akhir 1911 ia tiba-tiba tersentak oleh gagasan bahwa peristiwa hari hanya dapat ditafsirkan dalam “global” dan “total-budaya” istilah. Dia melihat Eropa sebagai berbaris pergi untuk bunuh diri, langkah pertama menuju kematian terakhir budaya Eropa di dunia dan dalam sejarah.
Perang Besar 1914-1918 hanya membenarkan dalam pikirannya keabsahan tesis yang sudah dikembangkan. Pekerjaan yang direncanakannya terus meningkat dalam lingkup yang jauh melampaui batas aslinya.
Pada tahun 1922 Spengler mengeluarkan edisi revisi jilid pertama yang berisi koreksi kecil dan revisi, dan tahun setelah melihat penampilan jilid kedua, dia kemudian puas dengan pekerjaan, dan semua tulisan-tulisan dan pernyataan-pernyataan.


[1] Holistik adalah keseluruhan sebagai kesatuan yang lebih penting dari pada bagian-bagiannya.
[2] Lihat : “Theory of History” dalam www.academia.edu (Diakses pada tanggal 5 April 2015 pukul 15.06).
[3] Penerjemah Cuk Ananta Wijaya. Filsafat Sejarah G.W.F Hegel. (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR. 2012). Hal V.
[4] Prof. Abdul Hamid Shiddiqi MA. Islam dan Filsafat Sejarah. Cet. 1. 1403 H / 1983 H. Hal 1.
[5] Lihat : “Biografi Hegel” dalam http://id.m.wikipedia.org/wiki/Georg_Wilhelm_Friedrich_Hegel. (Diakses pada tanggal 8 April 2015 pukul 11.24). Lihat juga: Dr. Juhaya S. Praja. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Suatu Pengantar. (Bandung: Yayasan PIARA. 1997). Hal 85.
[6] Ibid. Dr. Juhaya S. Praja. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Suatu Pengantar.Hal 86
[7] Dr. Harun Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat II. (Yogyakarta: Kanisius. 2011). Hal 98.
[9] Op. Cit. Dr. Juhaya S. Praja. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Suatu Pengantar. Hal 84.
[10] Roh yang mempengaruhi Roh Subjek dan Roh Objektif, namun tidak dipengaruhi keduanya. Karena itu, Roh Absolut bergerak di dalam semua, mengembangkan diri dalam semua, dan mengatasi semuanya. Lihat: Masykur Arif Rahman. Sejarah Filsafat Barat. (Yogyakarta: IRCiSoD. 2013). Hal 303.
[11] Maksud Hegel dari “abstrak” mempunyai arti yang berbeda, yang lazimnya istilah “abstrak” merujuk pada sesuatu yang tidak dapat diindara, sedangkan istilah “konkret” merujuk pada sesuatu yang dapat diindra. Namun, Hegel membalikkan yang “konkret” memiliki arti abstrak (pemikiran), sementara yang “abstrak” memiliki arti konkret (pengindraan).
[12] Abdul Hamid Shiddiqi. Islam dan Filsafat Sejarah. (Cet. Pertama 1983). Hal 54.
[13] Ibid. Hal 53.
[14] Op.Cit. Masykur Arif Rahman. Sejarah Filsafat Barat. Hal 298.
[15] Op.Cit. Abdul Hamid Shiddiqi. Hal 56.
[16] Op.Cit. “Theory of History” dalam www.academia.edu.
[17] Loc.Cit. Masykur Arif Rahman. Sejarah Filsafat Barat Hal. 302.

Tidak ada komentar: