Pendahuluan
Pada umumnya seringkali
mengukur identitas seseorang melalui banyak hal, salah satunya adalah agama.
Tercermin dari pertanyaan sehari-hari seperti :Apakah agama anda? Atau Agama
apakah yang anda anut/peluk? Tidak hanya itu, bahkan pada kartu
identitas penduduk, agama pun dicantumkan selain jenis kelamin, status
pernikahan, dan jenis profesi. Singkatnya, akan menjadi aneh dan ‘salah’ jika
ditemukan seseorang yang tidak memiliki agama tertentu atau menganut agama
tertentu. Dan dengan demikian, agama menjadi salah satu isu sentral dalam
kehidupan masyarakat kita, bahkan tidak jarang menimbulkan konflik kekerasan
antar umat beragama. Sedangkan pada belahan dunia lain, kelompok orang yang
tidak menganut agama, baikatheisme maupun agnotisisme dapat
hidup dengan tenang berdampingan dengan orang beragama.
Tujuan dari penulisan
paper ini adalah untuk membahas secara singkat mengenai gambaran
perubahan paradigma teosentris ke paradigma
antroposentris, melalui humanisme. Seperti yang dikatakan oleh Franz Magnis
Suseno, bahwa modernitas (terutama di Eropa sejak abad ke-17) telah mengubah
kondisi penghayatan manusia terhadap ketuhanan (agama). Salah satu fenomena
dari perubahan itu adalah munculnya banyak orang yang non-agama (atheisme maupun agnotisisme).
Dan dalam konteks pembahasan ini, terlebih dahulu akan disajikan konsep agama
melalui kacamata sosiologis, sehingga dapat menjadi bahan acuan untuk
menjelaskan bagian selanjutnya. Kemudian, untuk melenyapkan kerancuan mengenai
jenis agama mana yang dibicarakan, maka pada paper ini dibatasi pada lima agama
besar yang diakui secara nasional di Indonesia.
Konsep Agama
"Bukan Tuhan (Agama) yang menciptakan manusia,
melainkan manusia lah yang menciptakan Tuhan(Agama). Agama hanyalah proyeksi
manusia" (Ludwig Feurbach).
Kepercayaan kolektif
akan adanya suatu kekuatan maha unggul tersebut telah dapat menuntun manusia
pada keteraturan, kestabilan, kenyamanan, pembenaran diri, kekuatan,
kegembiraan dan harapan akan keabadian. Kesamaan kepercayaan dan ritual suci
yang dilakukan suatu kelompok komunitas juga telah menjadi kekuatan pemersatu
dalam kelompok tersebut, mendorong kerjasama dan tekad utuh dalam mewujudkan
keberhasilan komunal. Seperti yang dikatakan oleh E.O Wilson bahwa ”
kecenderungan terhadap keyakinan religius merupakan kekuatan paling rumit dan
ampuh dalam pikiran manusia dan sangat mungkin merupakan bagian dari hakikat
manusia yang tidak mungkin dihilangkan”.[1]
Salah satu pengertian agama dipahami lewat konteks sosiologis, yaitu agama
sebagai salah satu jenis dari institusi manusia. Artinya bahwa, agama
sepenuhnya bersifat sosial dan dikonstruksi oleh manusia. Sebagai salah satu
institusi, maka agama memiliki empat dimensi penting yang membangunnya menjadi
sebuah institusi. Empat dimensi yang menjadi pilar bagi bangunan agama itu
adalah:
1. Dimensi teoritis, dalam dimensi ini, agama mengandung
kepercayaan-kepercayaan, mitos-mitos, dan doktrin. Karakteristik objek dalam
dimensi ini adalah Tuhan maupun objek pemujaan lain.
2. Dimensi praktis, yaitu ritual-ritual keagamaan, keibadahan, dan
kode-kode moral agama.
3. Dimensi sosiologis, yaitu sarana atau fasilitas yang mendukung praktik
keagamaan, seperti bangunan tempat ibadah, pemimpin agama, dan para
pendukungnya/fungsionaris agama.
4. Dimensi eksperiental, yaitu menyangkut emosi (aspek rasa), visi/pandangan
dan hal-hal sentimentil dalam praktek keagamaan.
Sebagai sebuah
institusi, tentu saja agama memiliki tujuan dan fungsi tertentu dalam praktiknya. Secara sederhana, tujuan dari institusi keagamaan diperlihatkan
dari dimensi praktis dan sosiologis yang sebenarnya juga merupakan bagian kecil
dari dimensi teoritis, yaitu mengenai keselamatan atau penerimaan kebaikan yang
terakhir (ultimate) atau kesejahteraan. Kemudian, fungsi agama sebagai
institusi adalah menyediakan keseluruhan arti/identitas bagi kehidupan
masing-masing orang (individual), atau kelompok agama, dan untuk
mengintegrasikan dan menyatukan masyarakat sesuai bentuk/kondisinya. (Misalnya:
kelompok Kristen Katolik, kelompok Kristen Anglikan, kelompok Islam
Muhammadiyah, kelompok Islam NU, dll.)
Dengan demikian, dari
pembahasan diatas, dapat disimpulkan sebuah pengertian terhadap agama, yaitu:
A religion is (1) a systems of symbols which acts to
(2) establish powerful, pervasive and long-lasting moods and motivations in men
by (3) formulating concepts of a general order of existence (4) and clothing
these conceptions with such an aura of factuality that (5) the moods and
motivations seem uniquely realistic. (Geertz, 1996: 4)
Dari pengertian diatas,
kita mendapatkan bahwa agama sebagai sebuah institusi, memiliki kewenangan
untuk mengatur dan mempengaruhi manusia dalam kehidupannya melalui praktek
keagamaan yang mengandung simbol-simbol kepercayan. Institusi agama pun dengan
demikian memiliki kuasa untuk menciptakan seperangkat keteraturan yang
mendukung berjalannya praktek keagamaan. Salah satu bagian terpenting dari
institusi agama adalah wahyu yang diformulasikan ke dalam doktrin agama tentang
kebenaran. Sehingga, tidak heran bahwa masing-masing penganut agama akan
bersikukuh tentang kebenaran agamanya. Dengan demikian, agama telah menjelma
menjadi sebuah kekuatan yang mengendalikan umat manusia, seperti yang tercermin
pada bentuk-bentuk Negara-Agama, dimana agama menjadi sebuah ideologi. Dan pada
Negara lainnya, seringkali juga agama menjelma menjadi kekuatan
ekonomis-politis, dalam bentuk partai politik misalnya.
Namun, dalam
perkembangannya, umat manusia kemudian mempertanyakan mengenai kebenaran
(tertutup) yang diklaim oleh agama, dan tentu saja hal ini menimbulkan gejolak
pada sejarah kehidupan beragama. Salah satunya adalah melalui perjuangan Marx
yang menolak agama, sebab agama seolah-olah mendukung kapitalisme dengan
mempertahankan kondisi ketertindasan buruh. Agama dalam hal ini sebenarnya
memiliki kesempatan untuk membebaskan manusia dari ketertindasan dan mencapai
kesejahteraannya, namun yang terjadi justru sebaliknya. Agama hanya menjadi
tempat pelarian dari buruh yang tertindas, dan bahkan menyediakan kekuatan bagi
kaum tertindas untuk kembali ditindas.
Konsep Humanisme
Humanisme merupakan fenomena dari paradigma antroposentris, dimana segala
sesuatu dipertanyakan dari sudut manusia (antrophos=manusia), dan bukan
dari sudut Tuhan atau theosentris (theos=Allah). Sebelum kemunculan
humanisme, para penganut agama besar telah mengkonstruksi sebuah
pemahaman bahwa moral manusia identik dengan kepercayaan spiritual tertentu
atau agama. Sehingga ada anggapan bahwa kualitas moral seseorang ditentukan
dari apakah orang itu beragama atau tidak. Humanisme kemudian menolak segala
bentuk kepicikan dan fanatisme agama.
Humanisme membawa perubahan pada agama-agama besar yaitu menempatkan manusia
sebagai subjek yang berpikir dan memiliki kebebasan, terutama di Eropa, humanisme
hadir melawan dominasi gereja Katolik, sampai akhirnya membuahkan pernyataan
bahwa kebenaran tentang keselamatan tidak hanya ada pada (Gereja Katolik).
Martin Luther (1483-1546) adalah salah satu tokoh penting dalam hal ini yang
menegaskan bahwa setiap orang Kristiani berhak membaca Kitab Suci serta
memahaminya sendiri. Tafsiran (interpretasi) Kitab Suci bukan lagi terbatas
pada hak para pimpinan Gereja. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa humanisme
muncul sebagai reaksi penolakan atas determinasi yang berasal dari konstruksi
keagamaan. Franz Magnis Suseno bahkan menegaskan bahwa humanisme merupakan
criteria kesejatian agama,“adalah keyakinan bahwa setiap orang harus dihormati
sebagai persona, sebagai manusia dalam arti sepenuhnya, bukan karena ia pintar
atau bodoh, baik atau buruk, dan dengan tidak tergantung dari daerah
asal-usulnya, komunitas etnik atau umat beragama mana, dan apakah dia seorang
laki-laki atau perempuan”.
Melampaui Simbol-Simbol[2]
Lebih jauh dari itu, humanisme mengajak umat beragama melampaui simbol-simbol
keagamaan. Kita harus yakin, perbedaan dalam hal-hal ritual simbolik dari
agama-agama adalah "jalan menuju Tuhan", bukan hal yang mutlak. Oleh
karena itu, tidak perlu memutlakkan simbol-simbol dari agama, melainkan
kemanusiaan, yang kita yakini sebagai universalisme dari agama-agama. Untuk
itulah, berpandangan ekstrem, fanatis, dan tidak bersahabat atas umat agama
yang lain, tidak tepat dilakukan. Di situlah sebenarnya dimensi humanisme
agama-agama yang harus disebarkan seluas-luasnya, bukan ditutup rapat-rapat dan
takut terjadinya sinkretisasi dengan agama lain. Humanisme karena itu harus
dipahami sebagai bagian terpenting dari agama-agama, ketimbang ritual simbolik.
Humanisme harus menjadi pijakan bersama umat beragama dalam membangun bangsa
yang telah carut-marut dan tercabik-cabik oleh kepentingan kelompok agama dan
politik.
Dengan membuka lebar-lebar dimensi humanisme, agama-agama akan melahirkan umat
terbuka, toleran, serta demokratis; bukan umat yang otoriter dan
fanatis-parokial. Namun, jika humanisme agama tidak dibuka, yang akan
berkembang adalah sikap ingin menang sendiri, sehingga berkembang sikap saling
mengafirkan. Dari sana dialog dan kerja sama antaragama akan sangat sulit
dilaksanakan. Mengabaikan dimensi humanisme dari agama-agama telah terbukti
melahirkan orang-orang yang bermental rendah, korup, dan bromocorah. Apa yang
sedang terjadi di negeri ini adalah buah dari kesalahan dalam memahami agama.
Di negara yang katanya religius, ternyata banyak pejabat yang mengorupsi uang
negara, uang rakyat, berani melakukan persaksian bohong, menyuap dan menerima
suap, "dagang sapi" antar-elite politik, perlakuan istimewa di
hadapan hukum terhadap orang-orang tertentu, dan konflik-konflik atas nama agama,
bisa disebut sebagai bukti-bukti mutakhir rendahnya keberagamaan kita.
Humanisme Sekuler
" Agama merupakan keluhan makhluk yang
tertindas, hati dunia yang tak berperasaan, dan jiwa dari kondisi yang mati.
Agama hanyalah sebuah pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan
diri. Agama adalah candu rakyat. " (Karl Marx)
"Allah sudah mati" (Friedrich
Nietzsche)
Pada abad ke-18,
humanisme mengalami perubahan konsepsi, dimana ketika itu adalah masa
saintisme. Saintisme adalah paham yang memandang sains sebagai segala-galanya
dalam mencapai kebenaran, kebaikan dan keindahan. Yang menjadi tumpuan dari
humanisme pada masa ini adalah perhatiannya yang mendalam pada pengertian umum
manusia, yaitu berhubungan dengan harkat dan martabatnya, serta hak-hak
kebebasannya. Semangat yang menyertainya adalah semangat yang tegas-tegas
antroposentris (yaitu manusia sebagai pusat perputaran dunia dan perkebangan
sejarah). Berbeda dengan humanisme sebelumnya yang mempunyai cita ideal
manusia, yaitu menjadi pribadi yang dilengkapi dengan kebajikan-kebajikan,
kesempurnaan, kehalusan dan keindahan. Dari perjalanan tersebut, muncul
kemudian istilah humanisme sekuler, yaitu menepatkan manusia sebagai Tuhan.
Manusialah yang menentukan segala hal dengan kebebasan individunya, asalkan
tidak merugikan orang lain. Hal ini bagi mereka perlu dilakukan demi
kepentingan akal dan sains alam. Ia dicipta atas dasar perkiraan bahwa kuasa
individu menjadi satu-satunya sumber bagi makna dan kebenaran.[3]
Kemudian, pada permulaan abad ke-19 humanisme
dipandang sebagai perilaku sosial politik yang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan lembaga-lembaga politik dan hukum yang sesuai dengan ide tentang
martabat kemanusiaan. Sejak saat itu, konsep HAM telah memasuki tahap etika politik
modern.[iv] Pada abad ini juga muncul para penganut atheisme,
sebagai fenomena dari terjadinya sekluarisasi humanisme. Atheisme dapat dilihat
sebagai penolakan ekstrem terhadap agama dengan tidak mengakui eksistensi
Tuhan, bermula dari pemikiran yang skeptis khas modernisme.
Sedangkan pada abad ke-20, muncullah agnostisisme, yang menganggap
bahwa Tuhan berada diluar cakupan filsafat. Kepercayaan terhadap Tuhan
merupakan selera pribadi, bukan karena Tuhan ada dan manusia kemudian dianggap
wajib untuk menyembahnya. Agnotisisme membawa dampak relativisme agama total.
Apakah seseorang beragama atau tidak, dan bagaimana dengan cara penghayatan
serta pengamalan agamanya hanya masih berlaku dalam keluarga saja. Sedangkan
dalam lingkungan publik, interaksi antar manusia tidak lagi mempermasalahkan
agama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa agama tidak lagi menjadi ukuran
identitas seseorang.
Penutup
Humanisme sebagai
reaksi penolakan terhadap determinasi simbol-simbol agama sepatutnya dilihat
sebagai proses mendekonstruksi kebenaran agama yang selama ini merupakan
doktrin, tanpa kita mengetahui apa yang sebenar-benarnya. Dekonstruksi itu
sebenarnya memberikan tantangan sekaligus kesempatan bagi agama untuk
menempatkan diri sebagai solusi untuk berpartisipasi menciptakan hidup yang
lebih baik. Sejak kita mengetahui bahwa fungsi agama adalah memberikan
keteraturan hidup bagi umatnya dan pencapaian kebaikan ultima. Maka agama dalam
konteks ini diharapkan dapat membebaskan manusia dari kekeliruan pandangan yang
mengarah pada praktik penindasan yang berkedok maupun tindakan kekerasan
terhadap satu sama lain. Dengan demikian, humanisme dalam berbagai bentuk
sampai saat ini masih menjadi solusi pembebasan manusia dari kebenaran yang manipulatif
dan berpihak.
BAHAN BACAAN:
Ziaulhaq, Teologi Humanis Basis Titik Temu Mesra Agama-Agama. (AICIS XII)
Suseno, Franz Magnis. 2006. Menalar Tuhan.
Yogyakarta: Kanisius.
Hadi Hadiwijono, 2010. Sejarah Filsafat Barat
II. Yogyakarta: Kanisius.
[1] “BOM-Fundamentalis, Humanis, dan Blaise Pascal”, dapat diakses pada:
http://www.kompasiana.com/kabasaran
[2] Zuly Qodir, “Kemanusiaan, Melampaui Simbol-Simbol Keagamaan”, dapat diakses
pada: http://www.unisosdem.org/index.php?l=2
[3] Zuhriyyah, “Manusia, Humanisme, dan Kemanusiaan”, dapat diakses pada:
http://zuh86.multiply.com/journal