Rabu, 26 Oktober 2016

AGAMA DAN HUMANISME Sebuah Refleksi Filosofis: Humanisme Sebagai Penolakan atas Determinasi Keagamaan



Pendahuluan
Pada umumnya seringkali mengukur identitas seseorang melalui banyak hal, salah satunya adalah agama. Tercermin dari pertanyaan sehari-hari seperti :Apakah agama anda? Atau Agama apakah yang anda anut/peluk? Tidak hanya itu, bahkan pada kartu identitas penduduk, agama pun dicantumkan selain jenis kelamin, status pernikahan, dan jenis profesi. Singkatnya, akan menjadi aneh dan ‘salah’ jika ditemukan seseorang yang tidak memiliki agama tertentu atau menganut agama tertentu. Dan dengan demikian, agama menjadi salah satu isu sentral dalam kehidupan masyarakat kita, bahkan tidak jarang menimbulkan konflik kekerasan antar umat beragama. Sedangkan pada belahan dunia lain, kelompok orang yang tidak menganut agama, baikatheisme maupun agnotisisme dapat hidup dengan tenang berdampingan dengan orang beragama.
Tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk membahas secara singkat mengenai gambaran perubahan paradigma teosentris ke paradigma antroposentris, melalui humanisme. Seperti yang dikatakan oleh Franz Magnis Suseno, bahwa modernitas (terutama di Eropa sejak abad ke-17) telah mengubah kondisi penghayatan manusia terhadap ketuhanan (agama). Salah satu fenomena dari perubahan itu adalah munculnya banyak orang yang non-agama (atheisme maupun agnotisisme). Dan dalam konteks pembahasan ini, terlebih dahulu akan disajikan konsep agama melalui kacamata sosiologis, sehingga dapat menjadi bahan acuan untuk menjelaskan bagian selanjutnya. Kemudian, untuk melenyapkan kerancuan mengenai jenis agama mana yang dibicarakan, maka pada paper ini dibatasi pada lima agama besar yang diakui secara nasional di Indonesia.

Konsep Agama

"Bukan Tuhan (Agama) yang menciptakan manusia, melainkan manusia lah yang menciptakan Tuhan(Agama). Agama hanyalah proyeksi manusia" (Ludwig Feurbach).

Kepercayaan kolektif akan adanya suatu kekuatan maha unggul tersebut telah dapat menuntun manusia pada keteraturan, kestabilan, kenyamanan, pembenaran diri, kekuatan, kegembiraan dan harapan akan keabadian. Kesamaan kepercayaan dan ritual suci yang dilakukan suatu kelompok komunitas juga telah menjadi kekuatan pemersatu dalam kelompok tersebut, mendorong kerjasama dan tekad utuh dalam mewujudkan keberhasilan komunal. Seperti yang dikatakan oleh E.O Wilson bahwa ” kecenderungan terhadap keyakinan religius merupakan kekuatan paling rumit dan ampuh dalam pikiran manusia dan sangat mungkin merupakan bagian dari hakikat manusia yang tidak mungkin dihilangkan”.[1]
            Salah satu pengertian agama dipahami lewat konteks sosiologis, yaitu agama sebagai salah satu jenis dari institusi manusia. Artinya bahwa, agama sepenuhnya bersifat sosial dan dikonstruksi oleh manusia. Sebagai salah satu institusi, maka agama memiliki empat dimensi penting yang membangunnya menjadi sebuah institusi. Empat dimensi yang menjadi pilar bagi bangunan agama itu adalah:
1.    Dimensi teoritis, dalam dimensi ini, agama mengandung kepercayaan-kepercayaan, mitos-mitos, dan doktrin. Karakteristik objek dalam dimensi ini adalah Tuhan maupun objek pemujaan lain.
2.    Dimensi praktis, yaitu ritual-ritual keagamaan, keibadahan, dan kode-kode moral agama.
3.    Dimensi sosiologis, yaitu sarana atau fasilitas yang mendukung praktik keagamaan, seperti bangunan tempat ibadah, pemimpin agama, dan para pendukungnya/fungsionaris agama.
4.    Dimensi eksperiental, yaitu menyangkut emosi (aspek rasa), visi/pandangan dan hal-hal sentimentil dalam praktek keagamaan.

Sebagai sebuah institusi, tentu saja agama memiliki tujuan dan fungsi tertentu dalam praktiknya. Secara sederhana, tujuan dari institusi keagamaan diperlihatkan dari dimensi praktis dan sosiologis yang sebenarnya juga merupakan bagian kecil dari dimensi teoritis, yaitu mengenai keselamatan atau penerimaan kebaikan yang terakhir (ultimate) atau kesejahteraan. Kemudian, fungsi agama sebagai institusi adalah menyediakan keseluruhan arti/identitas bagi kehidupan masing-masing orang (individual), atau kelompok agama, dan untuk mengintegrasikan dan menyatukan masyarakat sesuai bentuk/kondisinya. (Misalnya: kelompok Kristen Katolik, kelompok Kristen Anglikan, kelompok Islam Muhammadiyah, kelompok Islam NU, dll.)
Dengan demikian, dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan sebuah pengertian terhadap agama, yaitu:
A religion is (1) a systems of symbols which acts to (2) establish powerful, pervasive and long-lasting moods and motivations in men by (3) formulating concepts of a general order of existence (4) and clothing these conceptions with such an aura of factuality that (5) the moods and motivations seem uniquely realistic. (Geertz, 1996: 4)
Dari pengertian diatas, kita mendapatkan bahwa agama sebagai sebuah institusi, memiliki kewenangan untuk mengatur dan mempengaruhi manusia dalam kehidupannya melalui praktek keagamaan yang mengandung simbol-simbol kepercayan. Institusi agama pun dengan demikian memiliki kuasa untuk menciptakan seperangkat keteraturan yang mendukung berjalannya praktek keagamaan. Salah satu bagian terpenting dari institusi agama adalah wahyu yang diformulasikan ke dalam doktrin agama tentang kebenaran. Sehingga, tidak heran bahwa masing-masing penganut agama akan bersikukuh tentang kebenaran agamanya. Dengan demikian, agama telah menjelma menjadi sebuah kekuatan yang mengendalikan umat manusia, seperti yang tercermin pada bentuk-bentuk Negara-Agama, dimana agama menjadi sebuah ideologi. Dan pada Negara lainnya, seringkali juga agama menjelma menjadi kekuatan ekonomis-politis, dalam bentuk partai politik misalnya.
Namun, dalam perkembangannya, umat manusia kemudian mempertanyakan mengenai kebenaran (tertutup) yang diklaim oleh agama, dan tentu saja hal ini menimbulkan gejolak pada sejarah kehidupan beragama. Salah satunya adalah melalui perjuangan Marx yang menolak agama, sebab agama seolah-olah mendukung kapitalisme dengan mempertahankan kondisi ketertindasan buruh. Agama dalam hal ini sebenarnya memiliki kesempatan untuk membebaskan manusia dari ketertindasan dan mencapai kesejahteraannya, namun yang terjadi justru sebaliknya. Agama hanya menjadi tempat pelarian dari buruh yang tertindas, dan bahkan menyediakan kekuatan bagi kaum tertindas untuk kembali ditindas.

Konsep Humanisme
           
               Humanisme merupakan fenomena dari paradigma antroposentris, dimana segala sesuatu dipertanyakan dari sudut manusia (antrophos=manusia), dan bukan dari sudut Tuhan atau theosentris (theos=Allah). Sebelum kemunculan humanisme, para penganut agama besar  telah mengkonstruksi sebuah pemahaman bahwa moral manusia identik dengan kepercayaan spiritual tertentu atau agama. Sehingga ada anggapan bahwa kualitas moral seseorang ditentukan dari apakah orang itu beragama atau tidak. Humanisme kemudian menolak segala bentuk kepicikan dan fanatisme agama.
               Humanisme membawa perubahan pada agama-agama besar yaitu menempatkan manusia sebagai subjek yang berpikir dan memiliki kebebasan, terutama di Eropa, humanisme hadir melawan dominasi gereja Katolik, sampai akhirnya membuahkan pernyataan bahwa kebenaran tentang keselamatan tidak hanya ada pada (Gereja Katolik). Martin Luther (1483-1546) adalah salah satu tokoh penting dalam hal ini yang menegaskan bahwa setiap orang Kristiani berhak membaca Kitab Suci serta memahaminya sendiri. Tafsiran (interpretasi) Kitab Suci bukan lagi terbatas pada hak para pimpinan Gereja. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa humanisme muncul sebagai reaksi penolakan atas determinasi yang berasal dari konstruksi keagamaan. Franz Magnis Suseno bahkan menegaskan bahwa humanisme merupakan criteria kesejatian agama,“adalah keyakinan bahwa setiap orang harus dihormati sebagai persona, sebagai manusia dalam arti sepenuhnya, bukan karena ia pintar atau bodoh, baik atau buruk, dan dengan tidak tergantung dari daerah asal-usulnya, komunitas etnik atau umat beragama mana, dan apakah dia seorang laki-laki atau perempuan”.

Melampaui Simbol-Simbol[2]

              Lebih jauh dari itu, humanisme mengajak umat beragama melampaui simbol-simbol keagamaan. Kita harus yakin, perbedaan dalam hal-hal ritual simbolik dari agama-agama adalah "jalan menuju Tuhan", bukan hal yang mutlak. Oleh karena itu, tidak perlu memutlakkan simbol-simbol dari agama, melainkan kemanusiaan, yang kita yakini sebagai universalisme dari agama-agama. Untuk itulah, berpandangan ekstrem, fanatis, dan tidak bersahabat atas umat agama yang lain, tidak tepat dilakukan. Di situlah sebenarnya dimensi humanisme agama-agama yang harus disebarkan seluas-luasnya, bukan ditutup rapat-rapat dan takut terjadinya sinkretisasi dengan agama lain. Humanisme karena itu harus dipahami sebagai bagian terpenting dari agama-agama, ketimbang ritual simbolik. Humanisme harus menjadi pijakan bersama umat beragama dalam membangun bangsa yang telah carut-marut dan tercabik-cabik oleh kepentingan kelompok agama dan politik.
              Dengan membuka lebar-lebar dimensi humanisme, agama-agama akan melahirkan umat terbuka, toleran, serta demokratis; bukan umat yang otoriter dan fanatis-parokial. Namun, jika humanisme agama tidak dibuka, yang akan berkembang adalah sikap ingin menang sendiri, sehingga berkembang sikap saling mengafirkan. Dari sana dialog dan kerja sama antaragama akan sangat sulit dilaksanakan. Mengabaikan dimensi humanisme dari agama-agama telah terbukti melahirkan orang-orang yang bermental rendah, korup, dan bromocorah. Apa yang sedang terjadi di negeri ini adalah buah dari kesalahan dalam memahami agama. Di negara yang katanya religius, ternyata banyak pejabat yang mengorupsi uang negara, uang rakyat, berani melakukan persaksian bohong, menyuap dan menerima suap, "dagang sapi" antar-elite politik, perlakuan istimewa di hadapan hukum terhadap orang-orang tertentu, dan konflik-konflik atas nama agama, bisa disebut sebagai bukti-bukti mutakhir rendahnya keberagamaan kita.

Humanisme Sekuler

Agama merupakan keluhan makhluk yang tertindas, hati dunia yang tak berperasaan, dan jiwa dari kondisi yang mati. Agama hanyalah sebuah pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan diri. Agama adalah candu rakyat. " (Karl Marx)

"Allah sudah mati" (Friedrich Nietzsche)

            Pada abad ke-18, humanisme mengalami perubahan konsepsi, dimana ketika itu adalah masa saintisme. Saintisme adalah paham yang memandang sains sebagai segala-galanya dalam mencapai kebenaran, kebaikan dan keindahan. Yang menjadi tumpuan dari humanisme pada masa ini adalah perhatiannya yang mendalam pada pengertian umum manusia, yaitu berhubungan dengan harkat dan martabatnya, serta hak-hak kebebasannya. Semangat yang menyertainya adalah semangat yang tegas-tegas antroposentris (yaitu manusia sebagai pusat perputaran dunia dan perkebangan sejarah). Berbeda dengan humanisme sebelumnya yang mempunyai cita ideal manusia, yaitu menjadi pribadi yang dilengkapi dengan kebajikan-kebajikan, kesempurnaan, kehalusan dan keindahan. Dari perjalanan tersebut, muncul kemudian istilah humanisme sekuler, yaitu menepatkan manusia sebagai Tuhan. Manusialah yang menentukan segala hal dengan kebebasan individunya, asalkan tidak merugikan orang lain. Hal ini bagi mereka perlu dilakukan demi kepentingan akal dan sains alam. Ia dicipta atas dasar perkiraan bahwa kuasa individu menjadi satu-satunya sumber bagi makna dan kebenaran.[3]
Kemudian, pada permulaan abad ke-19 humanisme dipandang sebagai perilaku sosial politik yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan lembaga-lembaga politik dan hukum yang sesuai dengan ide tentang martabat kemanusiaan. Sejak saat itu, konsep HAM telah memasuki tahap etika politik modern.[iv] Pada abad ini juga muncul para penganut atheisme, sebagai fenomena dari terjadinya sekluarisasi humanisme. Atheisme dapat dilihat sebagai penolakan ekstrem terhadap agama dengan tidak mengakui eksistensi Tuhan, bermula dari pemikiran yang skeptis khas modernisme.
             Sedangkan pada abad ke-20, muncullah agnostisisme, yang menganggap bahwa Tuhan berada diluar cakupan filsafat. Kepercayaan terhadap Tuhan merupakan selera pribadi, bukan karena Tuhan ada dan manusia kemudian dianggap wajib untuk menyembahnya. Agnotisisme membawa dampak relativisme agama total. Apakah seseorang beragama atau tidak, dan bagaimana dengan cara penghayatan serta pengamalan agamanya hanya masih berlaku dalam keluarga saja. Sedangkan dalam lingkungan publik, interaksi antar manusia tidak lagi mempermasalahkan agama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa agama tidak lagi menjadi ukuran identitas seseorang.






Penutup

            Humanisme sebagai reaksi penolakan terhadap determinasi simbol-simbol agama sepatutnya dilihat sebagai proses mendekonstruksi kebenaran agama yang selama ini merupakan doktrin, tanpa kita mengetahui apa yang sebenar-benarnya. Dekonstruksi itu sebenarnya memberikan tantangan sekaligus kesempatan bagi agama untuk menempatkan diri sebagai solusi untuk berpartisipasi menciptakan hidup yang lebih baik. Sejak kita mengetahui bahwa fungsi agama adalah memberikan keteraturan hidup bagi umatnya dan pencapaian kebaikan ultima. Maka agama dalam konteks ini diharapkan dapat membebaskan manusia dari kekeliruan pandangan yang mengarah pada praktik penindasan yang berkedok maupun tindakan kekerasan terhadap satu sama lain. Dengan demikian, humanisme dalam berbagai bentuk sampai saat ini masih menjadi solusi pembebasan manusia dari kebenaran yang manipulatif dan berpihak.


BAHAN BACAAN:

Ziaulhaq, Teologi Humanis Basis Titik Temu Mesra Agama-Agama. (AICIS XII)
Suseno, Franz Magnis. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.
Hadi Hadiwijono, 2010. Sejarah Filsafat Barat II. Yogyakarta: Kanisius.


[1] “BOM-Fundamentalis, Humanis, dan Blaise Pascal”, dapat diakses pada: http://www.kompasiana.com/kabasaran
[2] Zuly Qodir, “Kemanusiaan, Melampaui Simbol-Simbol Keagamaan”, dapat diakses pada: http://www.unisosdem.org/index.php?l=2
[3] Zuhriyyah, “Manusia, Humanisme, dan Kemanusiaan”, dapat diakses pada: http://zuh86.multiply.com/journal

Kamis, 20 Oktober 2016

Gaya Hidup dan Mindset Mahasiswa Kini



Naif rasanya jika menafikan realita hidup mode jaman sekarang, berbicara yang nyatanya ada didepan mata memang menjadikan sebagian umat harus mau tidak mau mengikutinya dan terkadang bersikap materialis dari pada memikirkan hal-hal yang mengawang, abstrak. Sikap praktis dan cara pandang instan masyarakat dalam mengikuti arus jaman ini memungkinkan kebutuhan hidup pun meningkat demi memenuhi nafsu ketidakpuasan walaupun disamping masih ada sebagian yang tidak berlebih-lebihan (Hedonis).
Bercermin dari pribadi sebagai mahasiswa maka alangkah baiknya refleksi ini dapat dibagi-bagi, berharap menjadi sebuah bahan pelajaran dan pertimbangan dalam memahami fenomena gaya hidup dan mindset mahasiswa terkhusus bertempat di Uin Bandung, sebagaimana penulis sedang menjalani peran mahasiswa ditempat tersebut.
Memperhatikan lingkungan kampus sebagai mahasiswa mungkin jarang dilakukan oleh sebagian mahasiswa itu sendiri. Fenomena yang diamati mengenai trend gaya hidup dan mindset mahasiswa terhadap nilai-nilai kehidupan yang tidak akan terlepas dari nilai agama, nilai sosial, nilai moral, nilai pendidikan dan sebagainya.
Dengan keadaan saat ini, dampak globalisasi dimana teknologi yang tengah berkembang dan booming didunia ini ikut memimpin menjadikanya perubahan kebudayaan dan perubahan sosial, maka secara tidak sadar hal demikian pun telah membawa dan membiarkan mindset mahasiswa jatuh pada fashion dan trendi gaya hidup yang berlebih-lebihan di lingkungannya.
Mengingat mahasiswa merupakan salah satu generasi perubahan (Agen of Change), maka status yang dimiliki mahasiswa berbeda dengan masyarakat walaupun mahasiswa itu sendiri sebagian dari masyarakat. Secara intelektual, mahasiswa lebih pandai dan cerdas dari pada kelompok lainya. Maka mahasiswa berperan menduduki  status sosial yang tinggi.
Begitu menaruh harapan masyarakat bahkan negara terhadap mahasiwa sebagai agen pembawa perubahan yang berpotensi besar memiliki dan membawa masa depan yang cerah dan pelopor untuk meningkatkan taraf hidup yang tinggi. Maka mahasiswa sebagai pembawa perubahan yang memiliki tingkat intelektualitas hendak sadar akan sikap-menyikapi setidaknya masalah yang terjadi secara umum, apalagi hal yang terjadi pada mahasiswa itu sendiri.
Pembahasan mengenai realita sekarang memang lebih tepat untuk memahami (antropologi) manusia sebagaimana objeknya. Ada banyak pengembangan ilmu yang membahas fenomenologi yang terjadi pada umat manusia. Terlebih dimana ilmu pengetahuan saat ini pun menjadi pengaruh besar dalam perubahan dari segi cara berpikir masyarakat. Maka penulis berharap masalah ini pun dapat dipecahkan dengan seksama.

Keyword : Perubahan Kebudayaan, Perubahan Sosial, Hedonis, Radikal,    Eksistesialis.