Rabu, 16 April 2014

Pemimpin yang Seharusnya




PEMIMPIN yang SEHARUSNYA
Oleh Hilda Rubiah


Kini, Indonesia sedang di landa kegelisahan menantikan siapakah yang akan membawa Negara Indonesia ke depan, dan membuka kegelapan yang menutupi warna-warni berlian negara Indonesia. Para partai sibuk dengan mengusung masing-masing perwakilan dari mereka. Para menteri menunggu jabatan barunya. Para pakar hanya duduk termenung menyaksikan fenomena musim pergantian. Dan masyarakat hanya bisa berharap sosok pemimpin yang nyata dimata mereka.
Keagungan tahta sedang bersiap menyambut datangnya seseorang pembawa perubahan ditengah-tengah terjadinya krisis multidimensi, berbagai keruwetan pertentangan besar atau pun kecil diberbagai bidang; politik, ekonomi, sosial, dan juga kebobrokan moral, sedang memporakporandakan sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia. Dengan kondisi ini, maka diharapkan sosok pembawa perubahan mampu melakukan rekontruksi negara disamping konflik-konflik yang sedang menuai terpecahnya nilai persatuan bangsa.
Indonesia sedang lapar ketenangan, tanpa mendengar berita-berita yang membuat rakyat takut akan dunia pemerintahan yang begitu dipandang mereka kejam, picik, licik layaknya politik. Memang, semua pemerintahan berdasar pada tindak politik, termasuk kehidupan masing-masing umat manusia atas kepentingannya demi menggapai sebuah tujuan.
Indonesia sedang haus keadilan, dimana penegakkan hukum ditegakkan dengan seadil-seadilnya. Tidak ada pencuri ayam dihukum dengan standar hukum koruptor, sebaliknya koruptor dihukum dengan standar pencuri ayam. Lain halnya lagi dengan legitimasi, dimana kualitas hukum yang berbasis pada penerimaan dalam putusan peradilan,[1] dapat diterima dengan senang hati oleh masyarakat. Karena konteks legitimasi sudah jauh dari arti yang sesungguhnya, hukum hanya bisa diterima oleh rakyat dengan tertunduk pasrah.
Tapi, Indonesia sedang bergairah, menyambut pemimpin baru mendatang yang diharap memenuhi syarat membawa ketentraman, kesejahteraan, keadilan, kebijakan dan kepuasan rakyat dapat terwujud. Yang memberikan arti penting sejarah peradaban bangsa pada umumnya.
Dan Indonesia telah rindu, sosok seorang pemimpin sepanjang masa yang memberikan arti penting sejarah peradaban manusia, yaitu Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dimana perjalanan kehidupannya adalah sebuah sejarah kepemimpinan yang sangat penting bagi umat manusia, khususnya bagi umat muslim. Kepemimpinan beliau tidak hanya dipandang sebatas sebagai pemimpin agama atau sebagai khalifah umatnya, akan tetapi juga sebagai pemimpin negara. Dengan kata lain, kepemimpinannya tidak hanya sebagai utusan Allah (Rasul), melainkan sebagai pemimpin negara bahkan pemimpin umat manusia diseluruh muka bumi.
Rasulullah telah mengukir sejarah dan kisah peradaban yang amat indah, yang padanya dapat kita teladani. Hadits adalah salah satu warisan setelah mukjizatnya yang terbesar diantara para nabi yang lainnya. Adalah Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW baik berupa sabda/perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun ihwal Nabi.[2]
Memang segala pola tingkah laku beliau tidak akan sama dengan manusia pada umumnya. Rasulullah adalah seorang laki-laki yang terpilih dan diutus Allah untuk menyampaikan wahyu kepada umatnya. Tidak mungkin sama apa yang istimewa ada padanya terdapat pada manusia pada umumnya. Namun yang patut kita tuntut adalah meneladaninya, sebagaimana akhlaqul karimah yang ada padanya.
            Demikian, seorang pemimpin dinilai bagaimana ia bersikap, bertindak dalam kepemimpinannya. Dan salah satu yang terpenting adalah kemampuan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan dan membuat kebijakan, efektifitas sebuah kebijakan dan bagaimana pengaruhnya atas kebijakan tersebut. Dimana sebuah keputusan tersebut lahir dari sebuah proses berpikir. Bermula dari cara pandang dalam menilai sesuatu yang kemudian berdampak terhadap cara berpikirnya.  Dan cara berpikir yang dilandasi cara pandang tadi akan menjadi penentu, tepat atau tidaknya keputusan seorang pemimpin dalam mengambil kebijakan.
            Adapun kebijakan seorang pemimpin seringkali berpengaruh terhadap banyak orang dan ruang lingkup serta waktu yang lebih luas. Apabila kesalahan dalam mengambil sebuah keputusan, dalam memilih sebuah kebijakan akan berujung pada kegagalan bahkan kehancuran sebuah negara dan bangsa.
            Demikianlah, ditinjau dari segala bentuk sabda/perkataan, akhlaqul karimah, dan sifat-sifat rasulullah tadi di atas, itu adalah keputusan dari bentuk  kepemimpinannya. Dilihat dari cara pandang dan berpikir beliau yang mengukir peradaban islam hingga masa kini. Cara berpikir Rasulullah yang lurus terlahir dari cara pandangnya yang juga lurus terhadap hidup dan kehidupan ini. Dari cara berpikir yang lurus tadi menghasilkan sebuah keputusan yang tepat sekaligus dapat diterima oleh semua pihak.
Lain dari pada itu, Rasulullah adalah orang yang menjunjung tinggi  kebijaksanaan, berarti orang yang bijaksana dan mungkin bisa dikatakan beliau juga adalah seorang filosof. Kata filosof/filsuf itu sendiri yang berasal dari kata yunani philosophia dan philosophos, menurut bentuk kata adalah seorang “pecinta kebijaksanaan”.[3] Sebagaimana seorang filsuf klasik yaitu Plato menghendaki kepala negara seharusnya filosof.[4]
Adapun diriwayatkan bahwa menjelang turunnya wahyu pertama, sebelumnya Rasulullah sering berkhalwat (menyendiri) di gua Hira. Disana belaiau ber-tahannuts, yaitu beribadah selama beberapa malam. Istilah lainnya yaitu bermeditasi, karena beliau tidak puas terhadap perilaku penyembahan masyarakat makkah pada waktu itu terhadap berhala. Maka Rasulullah pergi mengasingkan diri untuk mencari hakikat kebenaran ke Gua Hira’ di Jabal Nur.[5] Dan tiba lah saatnya wahyu pertama turun tahun 610 M, tatkala beliau sedang tidur dalam gua tersebut. Ketika itulah datang Malaikat Jibril dengan membawa wahyu pertama yaitu: Iqra’ (Bacalah!)[6]
Yang lebih pasti Rasulullah bermalam di gua tersebut tidak hanya beribadah semata, yang disebutkan beribadah ada yang mengatakan dengan menganut agama ibrahim, dan ada pula yang mengatakan beribadah mengikuti ilham dari Allah. Akan tetapi, Rasulullah termenung berfilsafat. Maksud dari pada itu adalah berusaha menemukan hakikat kebenaran tentang segala sesuatu dengan menggunakan pemikiran secara spekulatif.
Namun, Rasulullah berfilsafat; berusaha menemukan hakikat kebenaran tentang realita/kenyataan yang sedang dihadapi dengan orang-orang jahiliyyah pada saat itu. Melihat keadaan dirinya sendiri yang tidak dibekali pendidikan; tidak bisa membaca dan menulis, beliau sungguh sedih termenung karenanya tidak bisa melakukan sesuatu hal yang bisa merubah orang-orang jahiliyyah ke jalan yang benar. Beliau sungguh tak berdaya dengan keadaannya yang demikian. Maka beliau berpikir spekulatif mencari jalan kebenaran (solusi) agar orang jahiliyyah tersebut dapat merubah sikap, prilaku dan kebiasaannya yang kejam, hina dan tidak berprikemananusiaan.
Demikian Rasulullah sebagai filsosof, karena kemampuannya berpikir serius, mendalam (spekulatif). Dan berpikir ini sangat penting bagi orang-orang yang memegang posisi penting dalam membangun dunia. Maka sudah jelas lah bahwa Rasulullah memiliki hal itu. Padahal jika berkaca kepada krisis yang dihadapi oleh Rasulullah pada masanya, justru dengan mudah beliau menyelesaikannya, nyaris penyelesaiannya tanpa kekerasan dan pemaksaan, justru hanya dengan penerapan akhlakul karimah sebagai andalannya. Dan hal itu merupakan sebagaian strategi Rasulullah dalam kepemimpinannya untuk menyiarkan agama Islam.
            Melihat keberhasilan Rasululullah SAW dalam mengatasi krisis Multidimensial pada masanya, patutlah beliau menjadi seseorang yang istimewa dan mesti diteladani. Karena beliau adalah suri tauladan yang baik dan terbaik serta tipologi ideal yang paling prima. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab, 33 : 21, sebagai berikut.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
"Sesunggunya pada diri Rasulullah saw. terdapat contoh tauladan bagi mereka yang menggantungkan harapannya kepada Allah dan Hari Akhirat serta banyak berzikir kepada Allah."
Kembali pada menjelang datangnya pemimpin baru, maka tercerminlah bahwa pemimpin yang seharusnya, khusus untuk bangsa indonesia yang sedang lapar ketenangan, haus keadilan, bergairah dan rindu akan kehadiran sosok seorang pemimpin/khalifah negara seperti Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, hendaklah seorang pemimpin tersebut berakhlaqul karimah seperti yang dicontohkan Rasulullah kepada setiap umatnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan tadi diatas, bagaimana cara pandang dan cara berpikir Rasulullah tengah menghadapi umatnya.
Berikut ada enam prinsip kepemimpinan Rasulullah yang mesti diterapkan dalam kepemimpinan modern saat ini, dilihat dari cara berpikir Rasulullah.[7]
1.    Memprioritaskan fungsi sebagai landasan memilih pendamping (Sahabat).
Telah nampak bahwa Rasulullah menginsyafi sahabat-sahabat dekatnya dengan penuh menaruh kepercayaan karena fungsi/kemampuan sahabat yang bisa diandalkan. Beliau mempercayai Abu bakar sebagai juru bicaranya, maka abu bakar diberinya gelar Sidiq (banar). Begitu pun dengan sahabat lainnya seperti Umar bin Khatab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib.
Tercerminkan sebagai kriteria pemimpin untuk saat ini, bagaimana seorang pemimpin bersikap objektif dalam memilih teman bergaul. Karena melihat untuk masa kini yang sedang krisis mencari orang yang jujur.
2.    Mengutamakan segi kemanfaatan dari pada kesia-siaan.
Seperti halnya Hadits, tidak ada perkataan/sabda, perbuatan bahkan diamnya beliau sebuah kesia-siaan dan tidak berarti. Dalam riwayat dikatakan ketika beliau memilih pilihan terhadap mana makanan atau minuman yang bermanfaat bagi tubuh; kurma, air putih, susu kambing dan madu adalah salah satu contohnya.
Demikian untuk pemimpin yang akan datang, hendaklah ia melihat kepentingan mana yang lebih bermanfaat dari pada kesia-siaan, selama masih ada keputusan lain yang jauh lebih baik dari pada hal yang belum pasti bermanfaat bagi rakyatnya.
3.    Mendahulukan yang lebih mendesak dari pada yang bisa ditunda.
Ketika Rasulullah ditanya mengenai, mana yang harus dipilih terlebih dahulu, apakah menyelamatkan orang yang sedang menghadapi kesulitan atau meneruskan kepentingan sendiri, sekalipun sedang shalat. Maka beliau menyuruh untuk membatalkan shalat (menundanya) dan membantu orang orang yang sedang menghadapi kesulitan tersebut.
Begitulah seorang pemimpin harus mengutamakan rakyat terlebih dahulu ketimbang mementingkan fasilitas pemerintahannya sendiri yang dilihat masih utuh untuk dimanfaatkan. Karena dilihat dari bentuk pemerintahan Indonesia yaitu Demokrasi (demo=rakyat, kratos=pemerintah), berarti dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Maka patutlah prinsip dari bentuk pemerintahan Indonesia sendiri di jalankan sebagaimana mestinya.

4.    Mementingkan kepentingan Umum dari pada kepentingannya sendiri.
Seperti halnya dengan perinsip no 3 diatas, ketika Rasulullah akan melaksanakan hijrah dari kota Mekkah ke Madinah, beliau baru berangkat setelah semua kaum muslim mekkah berangkat terlebih dulu, padahal saat itu beliau sedang terancam akan dibunuh, namun tetap mengutamakan keselamatan kaumnya dari pada dirinya sendiri.
Bagaimana ceriminan Rasulullah terhadap pemimpin Indonesia, apakah disaat rakyat sedang mengalami kesulitan bencana misalnya, bisa mengutamakannya dari pada liburan tournnya mengelilingi dunia ?
5.    Memilih  jalan tersukar untuk dirinya dan termudah untuk umatnya.
Ketika umatnya disuruh untuk mencari jalan yang termudah dalam beragama, maka beliau memilih untuk mengurangi tidurnya, makan dan shalat sampai bengkak kakinya. Begitu pun ketika beliau menyampaikan perintah Allah kepada umatnya untuk mengeluarkan 2,5 sebagian hartanya (Zakat), beliau bahkan menyerahkan seluruh hartanya untuk sabilillah (berjuang dijalan Allah), terkecuali gubuk tempat ia tinggal yang menempel di samping mesjid.
Bagaimana dengan pemimpin baru Indonesia ? mungkin kah ia berkorban seperti hal yang dilakukan oleh Rasulullah. Di anjurkanlah bagi pemimpin tersebut untuk melakukan hal demikian, meskipun tidak seberapa namun hal itu sangat penting bagi rakyatnya yang sangat membutuhkan. Jikalau seorang pemimpin dapat mengumpulkan  para pejabat, mentri-mentri dan orang-orang yang terkaya sekapi pun untuk menyapakati menyumbangkan beberapa kecil dari harta yang di dapatnya, sungguh hal itu sangat bermanfaat untuk rakyatnya yang tidak hidup di pelataran kali, tidak punya tempat tinggal.
6.    Mendahulukan tujuan akhirat dari hal keduniawian.
Demikianlah seorang Rasul yang diutus dengan maksud mengajak umatnya ke jalan akhirat yang lurus, menuntun umatnya untuk menjalankan kepentingan akhirat ketimbang duniawi yang hanya sementara dan begitu menggoda. Beliau menunjukkan bahwa jalan akhirat itu lebih utama dari pada kenikmatan dunia yang semata.

Adakah seorang pemimpin yang religius seperti halnya ia zuhud, dimana ia mementingkan hal keakhiratan dari pada keduniawian yang hina dan fana ?
Tergambarlah untuk pemimpin Indonesia mendatang, melakukan hal demikian, karena dari hal inilah berawal “Keyakinan yang tidak akan tergoyahkan untuk menegakkan kebenaran”. Sebagaimana seorang filosof mencari hakikat kebenarannya dari sebuah pemikiran yang spekulatif untuk mencapai tujuan yang sesungguhnya dimana manusia diciptakan oleh Sang Maha Pencipta. Ialah Zat yang tunggal Allah Subhanahu Wata’ ‘Ala.

Maka hendaklah penulis mengharapkan sosok seorang pembawa perubahan untuk bangsa Indonesia yang : “Mencintai IA (ALLAH SWT) yang dilangit dan Memuliakan ia yang dibumi”. (Moto Hidup : Tatan Ahmad Santana)
           











[1] Pierre Larousse,Petit Larousse: dictionnaire encyclopédique pour tous, Librairie Larousse (1962). Diunduh di Wikipedia, pada 26 Maret pukul 22:32
[2] Muhammad Ajaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin, Kairo: Maktabah Wabbah, 1975, hal 19
[3] Dr. K. Bertens, 1975. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kansius. Hal 17
[4] Prof. Dr. Ahmad Tafsir. 2012. Filsafat Umum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hal 19
[5] Prof. Muhammad Ridha. 2010. Sirah Nabawiyyah (Judul Asli: Muhammad). Bandung: Irsyad Baitus Salam (Kairo: Dar Al-Hadits). Hal 140
[6] Muhammad Husain Haekal, 1993.  Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Intermasa,), cet. XVI , h. 79

Tidak ada komentar: