PEMIMPIN yang SEHARUSNYA
Oleh Hilda Rubiah
Kini, Indonesia sedang di landa kegelisahan
menantikan siapakah yang akan membawa Negara Indonesia ke depan, dan membuka
kegelapan yang menutupi warna-warni berlian negara Indonesia. Para partai sibuk
dengan mengusung masing-masing perwakilan dari mereka. Para menteri menunggu
jabatan barunya. Para pakar hanya duduk termenung menyaksikan fenomena musim
pergantian. Dan masyarakat hanya bisa berharap sosok pemimpin yang nyata dimata
mereka.
Keagungan tahta sedang bersiap menyambut
datangnya seseorang pembawa perubahan ditengah-tengah terjadinya krisis
multidimensi, berbagai keruwetan pertentangan besar atau pun kecil diberbagai
bidang; politik, ekonomi, sosial, dan juga kebobrokan moral, sedang
memporakporandakan sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia. Dengan kondisi ini,
maka diharapkan sosok pembawa perubahan mampu melakukan rekontruksi negara
disamping konflik-konflik yang sedang menuai terpecahnya nilai persatuan
bangsa.
Indonesia sedang lapar ketenangan, tanpa
mendengar berita-berita yang membuat rakyat takut akan dunia pemerintahan yang
begitu dipandang mereka kejam, picik, licik layaknya politik. Memang, semua
pemerintahan berdasar pada tindak politik, termasuk kehidupan masing-masing
umat manusia atas kepentingannya demi menggapai sebuah tujuan.
Indonesia sedang haus keadilan, dimana
penegakkan hukum ditegakkan dengan seadil-seadilnya. Tidak ada pencuri ayam
dihukum dengan standar hukum koruptor, sebaliknya koruptor dihukum dengan
standar pencuri ayam. Lain halnya lagi dengan legitimasi, dimana kualitas hukum
yang berbasis pada penerimaan dalam putusan peradilan,[1]
dapat diterima dengan senang hati oleh masyarakat. Karena konteks legitimasi
sudah jauh dari arti yang sesungguhnya, hukum hanya bisa diterima oleh rakyat
dengan tertunduk pasrah.
Tapi, Indonesia sedang bergairah, menyambut
pemimpin baru mendatang yang diharap memenuhi syarat membawa ketentraman,
kesejahteraan, keadilan, kebijakan dan kepuasan rakyat dapat terwujud. Yang
memberikan arti penting sejarah peradaban bangsa pada umumnya.
Dan Indonesia telah rindu, sosok seorang
pemimpin sepanjang masa yang memberikan arti penting sejarah peradaban manusia,
yaitu Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dimana perjalanan
kehidupannya adalah sebuah sejarah kepemimpinan yang sangat penting bagi umat
manusia, khususnya bagi umat muslim. Kepemimpinan beliau tidak hanya dipandang
sebatas sebagai pemimpin agama atau sebagai khalifah umatnya, akan tetapi juga
sebagai pemimpin negara. Dengan kata lain, kepemimpinannya tidak hanya sebagai
utusan Allah (Rasul), melainkan sebagai pemimpin negara bahkan pemimpin umat
manusia diseluruh muka bumi.
Rasulullah telah mengukir sejarah dan kisah
peradaban yang amat indah, yang padanya dapat kita teladani. Hadits adalah salah
satu warisan setelah mukjizatnya yang terbesar diantara para nabi yang lainnya.
Adalah Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW baik berupa sabda/perkataan,
perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun ihwal Nabi.[2]
Memang segala pola tingkah laku beliau tidak
akan sama dengan manusia pada umumnya. Rasulullah adalah seorang laki-laki yang
terpilih dan diutus Allah untuk menyampaikan wahyu kepada umatnya. Tidak
mungkin sama apa yang istimewa ada padanya terdapat pada manusia pada umumnya.
Namun yang patut kita tuntut adalah meneladaninya, sebagaimana akhlaqul karimah
yang ada padanya.
Demikian,
seorang pemimpin dinilai bagaimana ia bersikap, bertindak dalam
kepemimpinannya. Dan salah satu yang terpenting adalah kemampuan seorang
pemimpin dalam mengambil keputusan dan membuat kebijakan, efektifitas sebuah
kebijakan dan bagaimana pengaruhnya atas kebijakan tersebut. Dimana sebuah
keputusan tersebut lahir dari sebuah proses berpikir. Bermula dari cara pandang
dalam menilai sesuatu yang kemudian berdampak terhadap cara berpikirnya. Dan cara berpikir yang dilandasi cara pandang
tadi akan menjadi penentu, tepat atau tidaknya keputusan seorang pemimpin dalam
mengambil kebijakan.
Adapun
kebijakan seorang pemimpin seringkali berpengaruh terhadap banyak orang dan
ruang lingkup serta waktu yang lebih luas. Apabila kesalahan dalam mengambil
sebuah keputusan, dalam memilih sebuah kebijakan akan berujung pada kegagalan
bahkan kehancuran sebuah negara dan bangsa.
Demikianlah,
ditinjau dari segala bentuk sabda/perkataan, akhlaqul karimah, dan sifat-sifat
rasulullah tadi di atas, itu adalah keputusan dari bentuk kepemimpinannya. Dilihat dari cara pandang
dan berpikir beliau yang mengukir peradaban islam hingga masa kini. Cara
berpikir Rasulullah yang lurus terlahir dari cara pandangnya yang juga lurus
terhadap hidup dan kehidupan ini. Dari cara berpikir yang lurus tadi
menghasilkan sebuah keputusan yang tepat sekaligus dapat diterima oleh semua
pihak.
Lain dari pada itu, Rasulullah adalah orang
yang menjunjung tinggi kebijaksanaan,
berarti orang yang bijaksana dan mungkin bisa dikatakan beliau juga adalah
seorang filosof. Kata filosof/filsuf itu sendiri yang berasal dari kata yunani philosophia
dan philosophos, menurut bentuk kata adalah seorang “pecinta
kebijaksanaan”.[3]
Sebagaimana seorang filsuf klasik yaitu Plato menghendaki kepala negara
seharusnya filosof.[4]
Adapun diriwayatkan bahwa menjelang turunnya wahyu
pertama, sebelumnya Rasulullah sering berkhalwat (menyendiri) di gua Hira.
Disana belaiau ber-tahannuts, yaitu beribadah selama beberapa malam.
Istilah lainnya yaitu bermeditasi, karena beliau tidak
puas terhadap perilaku penyembahan masyarakat makkah pada waktu itu terhadap
berhala. Maka Rasulullah pergi mengasingkan diri untuk mencari hakikat
kebenaran ke Gua Hira’ di Jabal Nur.[5]
Dan tiba lah saatnya wahyu pertama turun tahun 610 M, tatkala beliau sedang tidur
dalam gua tersebut. Ketika itulah datang Malaikat Jibril dengan membawa wahyu
pertama yaitu: Iqra’ (Bacalah!)[6]
Yang lebih
pasti Rasulullah bermalam di gua tersebut tidak hanya beribadah semata, yang
disebutkan beribadah ada yang mengatakan dengan menganut agama ibrahim, dan ada
pula yang mengatakan beribadah mengikuti ilham dari Allah. Akan tetapi,
Rasulullah termenung berfilsafat. Maksud dari pada itu adalah berusaha
menemukan hakikat kebenaran tentang segala sesuatu dengan menggunakan pemikiran
secara spekulatif.
Namun,
Rasulullah berfilsafat; berusaha menemukan hakikat kebenaran tentang
realita/kenyataan yang sedang dihadapi dengan orang-orang jahiliyyah pada saat
itu. Melihat keadaan dirinya sendiri yang tidak dibekali pendidikan; tidak bisa
membaca dan menulis, beliau sungguh sedih termenung karenanya tidak bisa
melakukan sesuatu hal yang bisa merubah orang-orang jahiliyyah ke jalan yang
benar. Beliau sungguh tak berdaya dengan keadaannya yang demikian. Maka beliau
berpikir spekulatif mencari jalan kebenaran (solusi) agar orang jahiliyyah
tersebut dapat merubah sikap, prilaku dan kebiasaannya yang kejam, hina dan
tidak berprikemananusiaan.
Demikian Rasulullah sebagai filsosof, karena
kemampuannya berpikir serius, mendalam (spekulatif). Dan berpikir ini sangat
penting bagi orang-orang yang memegang posisi penting dalam membangun dunia.
Maka sudah jelas lah bahwa Rasulullah memiliki hal itu. Padahal jika berkaca kepada krisis yang dihadapi oleh Rasulullah
pada masanya, justru dengan mudah beliau menyelesaikannya, nyaris
penyelesaiannya tanpa kekerasan dan pemaksaan, justru hanya dengan penerapan
akhlakul karimah sebagai andalannya. Dan hal itu merupakan sebagaian strategi
Rasulullah dalam kepemimpinannya untuk menyiarkan agama Islam.
Melihat keberhasilan Rasululullah
SAW dalam mengatasi krisis Multidimensial pada masanya, patutlah beliau menjadi
seseorang yang istimewa dan mesti diteladani. Karena beliau adalah suri
tauladan yang baik dan terbaik serta tipologi ideal yang paling prima. Hal ini
dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab, 33 : 21, sebagai berikut.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ
أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ
اللَّهَ كَثِيرًا
"Sesunggunya
pada diri Rasulullah saw. terdapat contoh tauladan bagi mereka yang
menggantungkan harapannya kepada Allah dan Hari Akhirat serta banyak berzikir
kepada Allah."
Kembali pada menjelang datangnya pemimpin baru, maka
tercerminlah bahwa pemimpin yang seharusnya, khusus untuk bangsa indonesia yang
sedang lapar ketenangan, haus keadilan, bergairah dan rindu akan kehadiran
sosok seorang pemimpin/khalifah negara seperti Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi
Wasallam, hendaklah seorang pemimpin tersebut berakhlaqul karimah seperti
yang dicontohkan Rasulullah kepada setiap umatnya. Sebagaimana yang telah
dijelaskan tadi diatas, bagaimana cara pandang dan cara berpikir Rasulullah
tengah menghadapi umatnya.
Berikut ada enam prinsip kepemimpinan Rasulullah yang
mesti diterapkan dalam kepemimpinan modern saat ini, dilihat dari cara berpikir
Rasulullah.[7]
1. Memprioritaskan
fungsi sebagai landasan memilih pendamping (Sahabat).
Telah nampak bahwa Rasulullah menginsyafi sahabat-sahabat
dekatnya dengan penuh menaruh kepercayaan karena fungsi/kemampuan sahabat yang
bisa diandalkan. Beliau mempercayai Abu bakar sebagai juru bicaranya, maka abu
bakar diberinya gelar Sidiq (banar). Begitu pun dengan sahabat lainnya seperti
Umar bin Khatab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib.
Tercerminkan sebagai kriteria pemimpin untuk saat ini,
bagaimana seorang pemimpin bersikap objektif dalam memilih teman bergaul.
Karena melihat untuk masa kini yang sedang krisis mencari orang yang jujur.
2. Mengutamakan
segi kemanfaatan dari pada kesia-siaan.
Seperti halnya Hadits, tidak ada perkataan/sabda,
perbuatan bahkan diamnya beliau sebuah kesia-siaan dan tidak berarti. Dalam
riwayat dikatakan ketika beliau memilih pilihan terhadap mana makanan atau
minuman yang bermanfaat bagi tubuh; kurma, air putih, susu kambing dan madu
adalah salah satu contohnya.
Demikian untuk pemimpin yang akan datang, hendaklah ia
melihat kepentingan mana yang lebih bermanfaat dari pada kesia-siaan, selama
masih ada keputusan lain yang jauh lebih baik dari pada hal yang belum pasti
bermanfaat bagi rakyatnya.
3. Mendahulukan
yang lebih mendesak dari pada yang bisa ditunda.
Ketika Rasulullah ditanya mengenai, mana yang harus
dipilih terlebih dahulu, apakah menyelamatkan orang yang sedang menghadapi
kesulitan atau meneruskan kepentingan sendiri, sekalipun sedang shalat. Maka
beliau menyuruh untuk membatalkan shalat (menundanya) dan membantu orang orang
yang sedang menghadapi kesulitan tersebut.
Begitulah seorang pemimpin harus mengutamakan rakyat
terlebih dahulu ketimbang mementingkan fasilitas pemerintahannya sendiri yang
dilihat masih utuh untuk dimanfaatkan. Karena dilihat dari bentuk pemerintahan
Indonesia yaitu Demokrasi (demo=rakyat, kratos=pemerintah), berarti dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat. Maka patutlah prinsip dari bentuk pemerintahan
Indonesia sendiri di jalankan sebagaimana mestinya.
4. Mementingkan
kepentingan Umum dari pada kepentingannya sendiri.
Seperti halnya dengan perinsip no 3 diatas, ketika
Rasulullah akan melaksanakan hijrah dari kota Mekkah ke Madinah, beliau baru
berangkat setelah semua kaum muslim mekkah berangkat terlebih dulu, padahal
saat itu beliau sedang terancam akan dibunuh, namun tetap mengutamakan
keselamatan kaumnya dari pada dirinya sendiri.
Bagaimana ceriminan Rasulullah terhadap pemimpin
Indonesia, apakah disaat rakyat sedang mengalami kesulitan bencana misalnya,
bisa mengutamakannya dari pada liburan tournnya mengelilingi dunia ?
5. Memilih jalan tersukar untuk dirinya dan termudah
untuk umatnya.
Ketika umatnya
disuruh untuk mencari jalan yang termudah dalam beragama, maka beliau memilih
untuk mengurangi tidurnya, makan dan shalat sampai bengkak kakinya. Begitu pun
ketika beliau menyampaikan perintah Allah kepada umatnya untuk mengeluarkan 2,5
sebagian hartanya (Zakat), beliau bahkan menyerahkan seluruh hartanya untuk
sabilillah (berjuang dijalan Allah), terkecuali gubuk tempat ia tinggal
yang menempel di samping mesjid.
Bagaimana
dengan pemimpin baru Indonesia ? mungkin kah ia berkorban seperti hal yang
dilakukan oleh Rasulullah. Di anjurkanlah bagi pemimpin tersebut untuk
melakukan hal demikian, meskipun tidak seberapa namun hal itu sangat penting
bagi rakyatnya yang sangat membutuhkan. Jikalau seorang pemimpin dapat
mengumpulkan para pejabat, mentri-mentri
dan orang-orang yang terkaya sekapi pun untuk menyapakati menyumbangkan
beberapa kecil dari harta yang di dapatnya, sungguh hal itu sangat bermanfaat
untuk rakyatnya yang tidak hidup di pelataran kali, tidak punya tempat tinggal.
6. Mendahulukan
tujuan akhirat dari hal keduniawian.
Demikianlah
seorang Rasul yang diutus dengan maksud mengajak umatnya ke jalan akhirat yang
lurus, menuntun umatnya untuk menjalankan kepentingan akhirat ketimbang duniawi
yang hanya sementara dan begitu menggoda. Beliau menunjukkan bahwa jalan
akhirat itu lebih utama dari pada kenikmatan dunia yang semata.
Adakah seorang
pemimpin yang religius seperti halnya ia zuhud, dimana ia mementingkan hal
keakhiratan dari pada keduniawian yang hina dan fana ?
Tergambarlah untuk
pemimpin Indonesia mendatang, melakukan hal demikian, karena dari hal inilah
berawal “Keyakinan yang tidak akan tergoyahkan untuk menegakkan kebenaran”.
Sebagaimana seorang filosof mencari hakikat kebenarannya dari sebuah pemikiran
yang spekulatif untuk mencapai tujuan yang sesungguhnya dimana manusia
diciptakan oleh Sang Maha Pencipta. Ialah Zat yang tunggal Allah Subhanahu
Wata’ ‘Ala.
Maka hendaklah
penulis mengharapkan sosok seorang pembawa perubahan untuk bangsa Indonesia
yang : “Mencintai IA (ALLAH SWT) yang dilangit dan Memuliakan ia yang
dibumi”. (Moto Hidup : Tatan Ahmad Santana)
[1] Pierre Larousse,Petit Larousse: dictionnaire encyclopédique pour tous, Librairie Larousse (1962). Diunduh di Wikipedia, pada 26 Maret
pukul 22:32
[2] Muhammad Ajaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin, Kairo:
Maktabah Wabbah, 1975, hal 19
[5] Prof. Muhammad Ridha. 2010. Sirah Nabawiyyah (Judul Asli: Muhammad).
Bandung: Irsyad Baitus Salam (Kairo: Dar Al-Hadits). Hal 140
[7]http://madinahsyariahsupermarker.blogspot.com/2009/11/6-prinsip-kepemimpinan-nabi-muhammad.html. Diunduh pada 28 Maret pukul 13:02
Tidak ada komentar:
Posting Komentar