KEDOK
Karya : Hilda
Rubiah
Waktu menunjukkan pukul 10:13 WIB. Nananana...
nananana... nanananannanana.. nananananananana.., suara bel itu berbunyi,
bertandakan saatnya untuk istirahat. Tak sabar untuk keluar bersama teman,
mengisi lambung yang terus menerus menagih.
“kita
ke kantin yuk !” ajak dia padaku dengan suara yang khas lembut.
“iya nih, perutku terus menagih
jatahnya, dari pelajaran pertama hingga pelajaran ke dua!” Jawabku dengan ramah kepadanya.
Seraya
ku berjalan menuju kantin, aku mengobrol dengannya.
“oh
iya ! bagaimana dengan pelajaran tadi, menurutmu sulit gak ?” tanyaku padanya.
“lumayan, walaupun ada yang sedikit
tak mengerti sih !” jawabnya dengan suara itu lagi.
Aku
terpaku, seraya berjalan di perjalanan yang sunyi. Aku kagum akan dia yang
bertutur kata lembut. Gaya bahasanya, bicaranya dan tubuhnya, seakan menutupi
kepribadiannya.
“mengapa aku
mengaguminya, padahal dia orang biasa ?” tanyaku sendiri berbisik di dalam hati.
Sejenak aku berhenti
mengobrol dengannya, akhirnya sampailah di kantin, ternyata kantin sudah banyak
di penuhi oleh puluhan siswa lainnya. Aku pun memilih untuk jajan ke warung
yang biasa aku kunjungi.
“kamu mau jajan apa ?”
tanyaku kepadanya.
“kayaknya, aku jajan
minuman sajalah sama semangkuk mie ayam !” jawabnya.
“bagaimana kalau
makannya disini saja, lagi pula waktunya masih lama!” ajakku padanya.
“boleh !” jawabnya.
“sudah yuk ! sebentar
lagi bel berbunyi !”, ajaknya padaku.
“masa ? perasaanku baru
tadi bel berbunyi ! kenapa terburu-buru ?” tanyaku padanya.
“mmmh, masalahnya aku
belum ngerjain PR !” jawabnya dengan buru-buru.
“oh ! ya sudah !”
jawabku dengan heran.
Aku merasa aneh, dia
membeli beberapa makanan dan sebuah minuman yang di selip-selipkan di kedua
kantung sakunya. Saat ku lihat dia menaruh uangnya, dia hanya menaruhkan
separuh dari yang dia makan.
Sungguh ku tak percaya,
dia melakukan perbuatan itu. Ku coba pikir ulang kembali, namun kata percaya
tak percaya itu terus menghantuiku. Bagaimana mungkin orang yang ku kagumi,
melakukan perbuatan memalukan seperti itu.
Tidak ku percaya,
karena dia orang yang baik juga memiliki kepribadian yang cantik. Namun ku
percaya, karena dia melakukan hal memalukan itu di depan mata kepalaku sendiri.
Ku berjalan pulang dengannya,
sungguh tak nyaman, rasanya ingin ku tanyakan. Namun hal ini harus di jaga,
demi melindunginya. Namun juga harus ku tanyakan, sekali pun itu menyakitikan.
Langkah demi langkah hatiku gundah jika terus berada di dekatnya, karena ku
takut akan terhanyut ke dalamnya.
Hingga setiap dia dekat
denganku, kini bukan merupakan kehormatan atau kebanggan bagi ku, tapi menjadi
sebuah ancaman. Yang tadinya aku mengaguminya kini membencinya. Entah mengapa
yang terjadi padaku, setiap dia berbicara denganku, lidah ku selalu berucap
kasar padanya, tapi setelah itu aku menyesalinya. Namun yang anehnya lagi,
walaupun dia selalu ku tindak begitu, dia biasa saja dan hanya tersenyum.
Aku tertipu dengan
kedok yang dia pasang. Kedoknya yang tebal membuat dia mempunyai penyakit yang
sulit hilang. Aku membencinya namun aku mengasihaninya. Dia orang yang baik,
namun tak ku sangka dia memiliki penyakit itu. Kenyataan ini sudah tak bisa dia
pungkiri, sifatnya yang baik itu menutupi semua kepribadiannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar