Jumat, 11 Oktober 2013

CERPEN "Kedok"


KEDOK
Karya  :  Hilda Rubiah

      Waktu menunjukkan pukul 10:13 WIB. Nananana... nananana... nanananannanana.. nananananananana.., suara bel itu berbunyi, bertandakan saatnya untuk istirahat. Tak sabar untuk keluar bersama teman, mengisi lambung yang terus menerus menagih.
            “kita ke kantin yuk !” ajak dia padaku dengan suara yang khas lembut.
 “iya nih, perutku terus menagih jatahnya, dari pelajaran pertama hingga pelajaran ke  dua!” Jawabku dengan ramah kepadanya.
            Seraya ku berjalan menuju kantin, aku mengobrol dengannya.
            “oh iya ! bagaimana dengan pelajaran tadi, menurutmu sulit gak ?” tanyaku padanya.
“lumayan, walaupun ada yang sedikit tak mengerti sih !” jawabnya dengan suara itu lagi.
          Aku terpaku, seraya berjalan di perjalanan yang sunyi. Aku kagum akan dia yang bertutur kata lembut. Gaya bahasanya, bicaranya dan tubuhnya, seakan menutupi kepribadiannya.
“mengapa aku mengaguminya, padahal dia orang biasa ?” tanyaku sendiri berbisik di dalam hati.
             Sejenak aku berhenti mengobrol dengannya, akhirnya sampailah di kantin, ternyata kantin sudah banyak di penuhi oleh puluhan siswa lainnya. Aku pun memilih untuk jajan ke warung yang biasa aku kunjungi.
“kamu mau jajan apa ?” tanyaku kepadanya.
“kayaknya, aku jajan minuman sajalah sama semangkuk mie ayam !” jawabnya.
“bagaimana kalau makannya disini saja, lagi pula waktunya masih lama!” ajakku  padanya.
“boleh !” jawabnya.
            
Seraya aku jajan dengannya, aku mengoceh dengan penuh canda dan tawa. Hingga tak terasa aku jajan terlalu banyak. Sejenak ku terdiam, dia mengajakku pulang.
“sudah yuk ! sebentar lagi bel berbunyi !”, ajaknya padaku.
“masa ? perasaanku baru tadi bel berbunyi ! kenapa terburu-buru ?” tanyaku padanya.
“mmmh, masalahnya aku belum ngerjain PR !” jawabnya dengan buru-buru.
“oh ! ya sudah !” jawabku dengan heran.
Aku merasa aneh, dia membeli beberapa makanan dan sebuah minuman yang di selip-selipkan di kedua kantung sakunya. Saat ku lihat dia menaruh uangnya, dia hanya menaruhkan separuh dari yang dia makan.
Sungguh ku tak percaya, dia melakukan perbuatan itu. Ku coba pikir ulang kembali, namun kata percaya tak percaya itu terus menghantuiku. Bagaimana mungkin orang yang ku kagumi, melakukan perbuatan memalukan seperti itu.
Tidak ku percaya, karena dia orang yang baik juga memiliki kepribadian yang cantik. Namun ku percaya, karena dia melakukan hal memalukan itu di depan mata kepalaku sendiri.
Ku berjalan pulang dengannya, sungguh tak nyaman, rasanya ingin ku tanyakan. Namun hal ini harus di jaga, demi melindunginya. Namun juga harus ku tanyakan, sekali pun itu menyakitikan. Langkah demi langkah hatiku gundah jika terus berada di dekatnya, karena ku takut akan terhanyut ke dalamnya.
Hingga setiap dia dekat denganku, kini bukan merupakan kehormatan atau kebanggan bagi ku, tapi menjadi sebuah ancaman. Yang tadinya aku mengaguminya kini membencinya. Entah mengapa yang terjadi padaku, setiap dia berbicara denganku, lidah ku selalu berucap kasar padanya, tapi setelah itu aku menyesalinya. Namun yang anehnya lagi, walaupun dia selalu ku tindak begitu, dia biasa saja dan hanya tersenyum.
Aku tertipu dengan kedok yang dia pasang. Kedoknya yang tebal membuat dia mempunyai penyakit yang sulit hilang. Aku membencinya namun aku mengasihaninya. Dia orang yang baik, namun tak ku sangka dia memiliki penyakit itu. Kenyataan ini sudah tak bisa dia pungkiri, sifatnya yang baik itu menutupi semua kepribadiannya.
               


Tidak ada komentar: